
Ilmu sains kerap dianggap sebagai bagian terpisah dari ilmu humaniora. Namun, pada kenyataannya, kedua ilmu tersebut saling melengkapi. Untuk itu, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi menggandeng Kementerian Kebudayaan dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) untuk menggelar Pameran SciArt 8.0 di Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta. Empat dari 29 tokoh yang dilukis merupakan tokoh-tokoh akademisi yang aktif bergerak dan membangun Universitas Gadjah Mada, yaitu Prof. Sardjito, Prof. Teuku Jacob, Prof. Poerbatjaraka, dan Prof. Sartono Kartodirdjo dipajang dalam pameran kali ini.
Seperti diketahui, Sardjito merupakan Rektor pertama UGM yang juga seorang Guru Besar Fakultas Kedokteran UGM. Sardjito merupakan sosok ilmuwan pejuang sekaligus pejuang ilmuwan. Sardjito dikenal atas sejumlah temuannya seperti obat penyakit batu ginjal dan vaksin bagi penyakit seperti tifus dan kolera yang menyerang masyarakat di masa itu. Ia turut menjadi pendiri Palang Merah Indonesia yang aktif hingga hari ini. Sosoknya juga berjasa di masa Revolusi Kemerdekaan dengan strateginya untuk mendirikan sejumlah rumah sakit darurat untuk militer. Prof. Sardjito juga turut membuat ransum yang dinamai Biskuit Sardjito agar para pejuang kemerdekaan saat itu bisa bertahan di kondisi perang.
Selanjutnya, Teuku Jacob menjabat sebagai rektor UGM pada tahun 1981—1986. Jacob banyak mengabdikan hidupnya bagi ilmu pengetahuan. Namun, asma yang diidapnya membuatnya tidak tahan dengan bau mayat. Akhirnya ia disebut memilih ilmu Antropologi Ragawi. Pengabdiannya pada bidang inilah yang mengantarkannya membuka pengetahuan baru bagi umat manusia dengan penemuan fosil Homo erectus Jawa di Sangiran pada 1962 dan Homo floresiensis di Liang Bua, Pulau Flores. Penemuan Jacob menempatkan Indonesia sebagai titik penting dalam studi manusia purba.
Lalu, Sartono Kartodirdjo merupakan ahli sejarah Indonesia. Ia dikenal sebagai tokoh pemikir, ilmuwan, dan intelektual dalam bidang ilmu-ilmu sosial dan humaniora, baik di Indonesia maupun dunia internasional. Ia merupakan Guru Besar Fakultas Sastra UGM pada tahun 1968. Disertasinya saat itu menjadi buku yang berjudul The Peasant Revolt of Banten in 1888 dan mengantarkannya meraih gelar Ph.D. dengan predikat cum laude. Buku yang menceritakan pemberontakan petani Banten tahun 1888 ini juga disebut-sebut sebagai rintisan penulisan sejarah baru, yakni tentang aktivitas orang-orang kecil. Karyanya tersebut mengubah cara pandang sejarah Indonesia yang menunjukkan dinamika rakyat kecil yang berperan dalam membangun sejarah bangsa.
Sedangkan Poerbatjaraka dikenal sebagai sosok tekun yang menggeluti bidang filologi, sastra Jawa, dan sejarah kebudayaan Jawa. Ilmu-ilmunya menjadi dasar penting bagi pengembangan studi naskah Nusantara yang masih terus dipelajari hingga hari ini. Ia pernah menjadi Ketua Fakultas Sastra dan. Kebudayaan UGM dan sekaligus menjadi guru besar UGM. Ilmu dan semangatnya dalam merawat warisan sastra Nusantara dan menjembatani tradisi lokal dengan pendekatan ilmiah modern terus menjadi inspirasi terus menjadi pegangan bagi mahasiswa bidang Filologi hingga hari ini.
Dekan Fakultas Ilmu Matematika dan Pengetahuan Alam (FMIPA) UGM, Prof. Kuwat Triyana, turut menyampaikan dukungannya terhadap program ini. Pasalnya, Ilmuwan masih mengalami kesulitan dalam mengkomunikasikan sains kepada masyarakat. “Malah biasanya ada anggapan kalau semakin rumit, banyak ilmuwan makin bangga sehingga komunikasi makin sulit terbangun,” ujarnya.
Materi kesejarahan mengenai ilmu-ilmu yang dipelajari di ranah saintek juga disadari Kuwat masih belum memadai. Untuk itu, ia menyatakan dukungannya untuk memperluas ilmu kesejarahan di ranah saintek, utamanya yang berkaitan dengan ilmu yang dipelajari mahasiswa saintek. “Diperlukan perluasan ahli komunikasi sains. Hal ini disebutnya dapat didukung dengan sertifikasi komunikator sains seperti yang telah diterapkan di Perancis,” ujarnya.
Luthfi Adam, ahli sejarah dari Monash University menanggapi bahwa memang perlu adanya sebuah jembatan yang menghubungkan sains dengan sejarah. Bagi Adam, sejarah bukan saja mengenai sosok pahlawan yang mengangkat senjata, tetapi juga sosok peneliti seperti tokoh yang dilukis dalam pameran kali ini. “Sudah saatnya pahlawan ilmu pengetahuan dikomunikasikan pada masyarakat,” harapnya.
Staf Khusus Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi bidang Komunikasi Publik dan Media Massa, Ezki Tri Rezeki Widianti menuturkan pameran ini berpotensi penting untuk mengkomunikasikan sains dengan bahasa yang lebih dipahami masyarakat.
Sementara Prof. Fathul Wahid, Rektor Universitas Islam Indonesia ini menyebutkan adanya kecenderungan sains dan saintis ditinggalkan dan dilupakan. Ia mengapresiasi adanya kegiatan ini sebagai bentuk dukungan dari pemerintah bahwa adanya urgensi untuk membangkitkan lagi semangat sains.
Pameran ini memajang lukisan potret 29 ilmuwan lintas waktu yang menginspirasi dunia akademisi Indonesia hari ini. Lukisan tersebut merupakan karya Paul Hendro, seorang peseni rupa. Lukisan potret ini disebutnya menjadi medium baru yang memungkinkan masyarakat bertemu kembali dengan wajah-wajah tokoh masa lalu maupun masa kini. Paul menyebut adanya pameran ini mencoba menyambungkan dunia ilmuwan dengan seniman lukis. “Selama ini, para ilmuwan tidak tersentuh oleh para pelukis. Kebanyakan yang dikenal oleh pelukis adalah pahlawan perang pejuang kemerdekaan,” ungkap Paul.
Pameran SciArt 8.0 ini digelar Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta. Menghadirkan 29 tokoh, pameran ini akan berlangsung pada 24—29 Juni 2025.
Penulis : Lazuardi
Editor : Gusti Grehenson