
Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada berkomitmen untuk mendorong pendidikan yang utuh dan berkesadaran. Bekerja sama dengan Universitas Nahdlatul Ulama Al Ghazali (UNUGHA) Cilacap, menyelenggarakan lokakarya pengembangan modul pelatihan dan pendampingan bertajuk Membangun Jiwa Merdeka Berbasis Filsafat dan Tasawuf.
Kegiatan ini diinisiasi oleh tiga dosen Fakultas Filsafat yaitu Imam Wahyudi, M.Hum., Dr. Heri Santoso, dan Dr. Abdul Malik Usman, sebagai bentuk kegiatan pengabdian kepada masyarakat, sekaligus menjadi tindak lanjut nyata dari nota kesepahaman antara UGM dan UNUGHA. Lokakarya ini menjadi langkah awal untuk merancang pendekatan pelatihan dan coaching yang ditujukan bagi para pendidik, dengan harapan dapat memperkuat ketangguhan batin dan spiritualitas dalam menghadapi tantangan dunia pendidikan masa kini.
“Tidak mungkin pendidikan mampu memerdekakan manusia jika para pendidiknya sendiri belum mengalami kemerdekaan jiwa. Karena itu, upaya membangun ketangguhan batin dan kejernihan hati para guru dan dosen menjadi penting dalam menjawab berbagai persoalan krisis kejiwaan yang kian terasa di era kekinian,” ujar Imam Wahyudi, Kamis (12/6).
Heri Santoso juga menegaskan pentingnya membedakan antara pendekatan pelatihan, konseling, mentoring, dan coaching. “Pendekatan pelatihan dan coaching yang berpijak pada kearifan lokal dan ajaran Islam Nusantara menjadi jalan untuk membantu manusia keluar dari belenggu batin dan tekanan hidup,” kata Heri.
Ia menyebut tokoh-tokoh seperti Gadjah Mada, Ki Hadjar Dewantara, Soekarno, hingga Buya Hamka sebagai contoh manusia yang telah merdeka jiwanya—sekalipun secara fisik pernah dipenjara. Heri pun menyampaikan pertanyaan reflektif yang menggelitik: mengapa hari ini para pendidik yang tidak dipenjara justru kerap tidak merasa bebas dan utuh dalam dirinya?
Dalam paparan yang disambut antusias peserta, Heri memperkenalkan konsep Jurus Tiga Langkah sebagai metode membangun jiwa merdeka, yakni: bertanya pada Al-Qur’an, bertanya pada Asmaul Husna, dan bertanya pada hati nurani. Metode ini telah diterapkan secara terbatas di berbagai forum, dan menunjukkan dampak positif dalam membantu individu menemukan ketenangan dan arah batin.
Sementara itu, Abdul Malik Usman memaparkan gagasan tentang sufisme sebagai jalan pembebasan spiritual. Ia menekankan bahwa tasawuf sejati adalah upaya sadar untuk membebaskan diri dari dorongan ego, nafsu, dan ilusi kekuasaan duniawi. Merujuk pada pemikiran tokoh-tokoh seperti Al-Ghazali, Iqbal, dan Ali Shari’ati, Malik menjelaskan bahwa kemerdekaan batin adalah landasan bagi manusia yang utuh dan merdeka.
Ketua Yayasan UNUGHA KH Lubbul Umam dan Kepala LPPM UNUGHA, Fahrur Rozi, M.Hum., menyampaikan apresiasi atas kerja sama strategis dengan Fakultas Filsafat UGM. Menurutnya, kegiatan ini dapat melahirkan modul pelatihan yang tidak hanya menyentuh aspek kognitif, tetapi juga membangun kedalaman batin dan kematangan spiritual para pendidik.
Hadir pula dalam forum ini Kiai Sudirwan dan sejumlah pakar tasawuf dari UNUGHA yang turut memperkaya diskusi. Melalui perjumpaan antara filsafat dan tasawuf dalam konteks pengabdian masyarakat ini, Fakultas Filsafat UGM kembali menegaskan kontribusinya dalam membangun manusia seutuhnya bukan hanya melalui teori, tetapi lewat pendekatan praksis yang berakar pada nilai-nilai lokal dan spiritualitas Nusantara.
Penulis : Gloria/Humas Filsafat
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik