Implementasi ekonomi hijau berkelanjutan atau suistanable green economy merupakan tanggung jawab multidisplin dan multisektor. Setiap negara memiliki strategi yang berbeda dalam mencanangkan kebijakan ekonomi hijau. Fakultas Hukum UGM menggelar seminar internasional bertema “Achieving Sustainability through Green Economy Policies” bersama Durham University, dan pakar The World Bank mengenai strategi kebijakan ekonomi hijau yang berkelanjutan pada Kamis (15/2).
Pakar Durham University, Dr. Adebola Adeyemi, menjelaskan Inggris menghadapi tantangan besar dalam merancang kebijakan ekonomi hijau. Sebagai negara empat musim, Inggris membutuhkan pasokan energi yang lebih tinggi dibanding dengan negara tropis. Ketergantungan akan penggunaan energi dan mineral ini mau tidak mau harus disesuaikan dengan permintaan mineral dunia yang diatur dalam “Critical Mineral Strategy”. Kebijakan ini berusaha mengatur ekspor mineral litium, grafit, kobalt, nikel agar tetap tersedia untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
“Selama bertahun-tahun Inggris menjadi pemasok mineral bagi dunia. Melalui adanya kebijakan net zero emission yang memaksa negara-negara memanfaatkan teknologi baterai, menyebabkan permintaan mineral meningkat. Kami di Inggris pada dasarnya juga sangat bergantung akan sumber energi ini. Maka dibuatlah strategi agar kebutuhan domestik terpenuhi, namun bisnis tetap berjalan,” paparnya. Ketersediaan sumber daya mineral saat ini tidak bisa memenuhi permintaan pasar yang melonjak. Akibatnya, harga mineral di pasar dunia menjadi tidak terkendali.
Berbeda dengan Inggris, Indonesia telah menetapkan kebijakan ekonomi hijau dalam bentuk suistanable finance policy. Prinsip kebijakan ini mengatur tentang upaya investasi jangka panjang, pengembangan penelitian, hingga penerapan strategi finansial berkelanjutan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan dukungan penuh dari industri jasa keuangan bagi program yang mencakup tiga aspek, yaitu kepentingan sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. Hal ini dijelaskan oleh Prof. Paripurna P. Sugarda dari Departemen Hukum Bisnis FH UGM.
“OJK mengatur dengan tegas agar industri jasa keuangan menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan. Bagaimana kita memastikan itu berjalan? Ada tiga hal yang dilakukan OJK. Apabila institusi tidak mengikuti regulasi keberlanjutan, maka OJK berhak memberikan pinalti dan sanksi. Setiap kegiatan akan diawasi oleh OJK, dan insitusi perlu melaporkan seluruh kegiatan sesuai kebijakan berkelanjutan,” jelas Paripurna.
Tak hanya mengatur kebijakan finansial secara domestik, strategi ini juga mempromosikan ekonomi hijau ke negara lain. Peluang kerja sama dan investasi terbuka luas dalam meningkatkan tujuan ekonomi berkelanjutan. Menurut catatan The World Bank, Indonesia telah berhasil mengembangkan ESG (Environtmental, Social, and Governance) dan membangun ekosistem finansial berkelanjutan yang siginifikan. “Indonesia mempublikasikan 10 standar ESG yang menjadi tumpuan program, di mana ini adalah awal mula yang bagus. Sebagian besar kebijakan ini berfokus pada infrastruktur dan forum internasional untuk keberlanjutan,” papar Dr. Satoshi Ishihara, Senior Social Development Specialist, The World Bank.
Seminar internasional ini sekaligus menjadi bagian dari rangkaian acara Dies Natalis ke-78 Fakultas Hukum UGM. Melalui diskusi ini, harapannya mampu memperkuat komitmen bersama untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Sebagaimana dicantumkan dalam poin SDGs ke-17, yakni kemitraan untuk mencapai tujuan. Kerja sama antar lembaga dan negara diharapkan mampu mendorong upaya bersama dalam mengedukasi dan mengembangkan tujuan berkelanjutan.
Penulis: Tasya