Kebencanaan menjadi aspek penting bagi negara yang secara geografis rawan mengalami bencana, termasuk Indonesia. Salah satu yang paling rawan terjadi adalah bencana gempa bumi. Pemahaman dasar, pengelolaan, hingga mitigasi bencana perlu dipelajari secara mendalam untuk merumuskan sistem tanggap darurat yang efektif. Fakultas Teknik UGM meluncurkan buku berjudul “Geologi Gempa Bumi Indonesia” pada Kamis (30/11) sebagai salah satu sumber terpercaya untuk mempelajari gempa.
Sepanjang tahun 2023, ratusan gempa telah terjadi di berbagai daerah Nusantara. Beberapa kali bencana ini memakan puluhan korban jiwa. Sistem deteksi gempa dini sudah dikembangkan dari tahun ke tahun untuk bisa memberikan informasi potensi gempa secepat dan sedini mungkin. “Tahun 2005 dulu kita sudah bisa mendapatkan peringatan dini selama 4 menit. Kalau sebelumnya itu 1 jam, jadi BMKG ini berkembang sangat pesat. Dan saya kira waktu itu adalah kerja sama yang luar biasa antar departemen. Loncatan ilmu geologi sejak kita pertama kali menangani itu jauh sekali. Jadi buku ini memang cocok bagi yang ingin mempelajari geologi Indonesia,” ucap Prof. Dr. Ir. Hery Harjono dari LIPI.
Gempat di Aceh tahun 2004 merupakan salah satu bencana yang menandai urgensi besar tata kelola informasi kebencanaan. Prof Hery bercerita, saat itu BMKG tidak memperkirakan bencana terjadi di Aceh, melainkan Mentawai. Belum ada sistem pemetaan yang jelas, apalagi sistem deteksi dini. “Kita tahun 2004 itu blank (tidak tahu apa-apa). Lalu baru 2005 kebetulan saya ikut menangani Indonesian Tsunami Early Warning System (ITEWS). Nah itu adalah sejarah, dulu BMKG sama sekali tidak bisa memberikan informasi. Berbeda jauh dengan sekarang,” tuturnya.
Ilmu geologi tidak hanya dimaknai sebagai ilmu pengetahuan tentang bumi secara fisik saja. Melainkan ilmu yang merekam seluruh fenomena yang pernah terjadi di muka bumi. Dalam sejarah, bumi telah beberapa kali mengalami bencana katastropik yang memusnahkan mahluk hidup secara masif. Dan bencana ini bisa datang kapan saja mengancam kehidupan manusia. Sayangnya, menurut Prof. Hery , ilmu pengetahuan kebencanaan khususnya gempa ini belum terlalu diperhatikan oleh pemerintah. Pengembangan ilmu pengetahuannya juga masih dipandang sebelah mata. Padahal, urgensi kebencanaan semakin tinggi mengingat bencana bisa datang kapan saja.
“Kalau diliat data kita itu gempa di Indonesia kecenderungannya semakin meningkat. Tahun 2007 itu ada 7.500 kali gempa, 2018 naik menjadi 11.900, di 2020 turun jadi 8.264, 2022 naik lagi menjadi 10.792 kali gempa. Artinya selama 2017-2022 ini semakin naik. Ini yang menjadi perhatian masyarakat. Mungkin kalau dulu informasi masih tidak secepat sekarang, jadi peristiwa-peristiwa gempa tidak banyak diberitakan. Berbeda dengan sekarang, dan inilah yang menjadi perhatian masyarakat,” ujar Ir. Anif Punto Utomo selaku Wartawan Senior. Mengingat kembali peristiwa gempa dan tsunami Palu tahun 2018 lalu, prediksi BMKG diperkirakan kurang akurat dalam memprediksi datangnya tsunami hingga berakibat fatal karena proses evakuasi yang terhambat. Bencana tersebut tentunya menjadi bahan refleksi bagi ilmu pengetahuan untuk mengedepankan keselamatan jiwa masyarakat.
Guru Besar Geologi UGM, Prof. Ir. Dr. Subagyo Parmumijoyo, menuturkan penerapan sistem kebencanaan atau mitigasi perlu didukung oleh komitmen kebijakan politik yang kuat. Biaya yang dikeluarkan untuk mengembangkan sistem kebencanaan harus dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan masyarakat. Peran pemerintah dan regulasi menjadi sangat strategis dalam menentukan prioritas keamanan masyarakat seperti apa yang perlu dikedepankan.
Penulis: Tasya