
Menjelang perayaan Hari Kemerdekaan RI ke-80, jagat media sosial diramaikan dengan kemunculan bendera One Piece, sebuah kartun anime yang dikibarkan sejajar dengan bendera Merah Putih. Aksi ini menjadi populer di ruang publik, bahkan pemerintah merespons ini sebagai tindakan yang berpotensi melanggar hukum. Menurut Ayom Mratita Purbandani, peneliti dari Center for Digital Society (CfDS) FISIPOL UGM, fenomena ini lebih tepat dipahami sebagai ekspresi perlawanan simbolik dan bentuk kebebasan sipil, bukan sebagai ancaman negara.
Ayom menjelaskan bahwa penggunaan simbol dari budaya populer telah menjadi sarana masyarakat dalam menyampaikan kritik sosial secara kreatif. “Ini adalah ekspresi protes yang sifatnya simbolik. Idiom budaya populer digunakan sebagai media kritik, mirip dengan simbol salam tiga jari di Thailand atau semangka yang digunakan sebagai simbol dukungan terhadap Palestina,” ujarnya, Kamis (14/7).
Menurutnya, bentuk perlawanan semacam ini bersifat spontan, emosional, dan lebih cepat menyebar di media sosial, berbeda dari demonstrasi konvensional. Karena itu, Ayom menilai reaksi pemerintah yang menganggap aksi ini sebagai hal makar, justru menunjukkan adanya political paranoid.
Lebih lanjut, ia menilai bahwa pembatasan terhadap ekspresi semacam ini bisa menimbulkan kesan bahwa ruang kebebasan sipil semakin menyempit. “Aksi seperti ini umumnya tidak bertahan lama dan tak terorganisir secara struktural. Tapi jika pemerintah meresponsnya dengan keras, maka pesan protesnya justru jadi makin kuat,” ungkap Ayom.
Bagi generasi muda, idiom budaya populer adalah media yang efektif untuk menyampaikan kritik. Cara ini mampu menjangkau lebih banyak kalangan karena bersifat ringan dan mudah dipahami. “Anak muda sekarang punya banyak cara untuk bersuara. Mereka menggunakan simbol yang familiar agar pesannya diterima secara luas,” jelasnya.
Ayom pun mengingatkan pentingnya sikap bijak dari pemerintah dalam menyikapi fenomena semacam ini. “Perlawanan simbolik seperti ini justru membuka ruang baru bagi praktik politik yang lebih imajinatif dan inklusif. Ketimbang bersikap reaktif, lebih baik ini dilihat sebagai bentuk kritik yang perlu didengarkan,” tambahnya.
Sebagai penutup, Ayom menekankan bahwa meski protes ini bernuansa politis, bentuk penyampaiannya jauh lebih efektif dan komunikatif. Hal itu membuat publik lebih mudah merasa terhubung dengan pesan yang dibawa. “Perlawanan ini tidak frontal, tapi justru efektif karena menyentuh sisi kemanusiaan dan imajinasi khalayak” ucapnya.
Sosiolog politik, Dr. Arie sujito melihat peristiwa pengibaran bendera One Piece ini bukanlah suatu bentuk gerakan radikal. Simbol-simbol yang dipakai melambangkan cerita perjuangan dan perjalanan panjang dalam mencapai sesuatu. Bukan sebuah hal baru yang muncul sebagai respon masyarakat terhadap dunia politik.
Menurut Arie, fenomena ini bukan pertanda dari satu krisis politik atau ekonomi, melainkan akumulasi dari rasa ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah. Media sosial berhasil mengakomodasi ekspresi tersebut sehingga masyarakat dapat menunjukan kegelisahannya. Hal ini tentunya lumrah dilakukan dan tidak seharusnya menuai tanggapan represif dari pemerintah “Melarang tidak akan efektif. Motor resonansi yang baik itu terbuka, artikulasinya cukup bagus dan ada pesan yang wajib diketahui. secara simbolik dan substansial beginilah cara orang-orang mengingatkan bahwa ada isu penting,” tutur Arie.
Ia menyebut berbagai isu yang penting seringkali terabaikan akibat banyaknya informasi trivia yang hadir di media sosial. Adanya fenomena bendera One Piece sebetulnya cukup berhasil dalam menyajikan isu substansial di hadapan masyarakat. Bahwa ada aspek keadilan dan krisis nasional yang perlu menjadi perhatian dan didengarkan oleh pemerintah.
Budayawan, Prof. Faruk menyatakan bahwa ada perubahan tren dalam merayakan kemerdekaan Indonesia. Jika dulu selebrasi merah putih cenderung disimbolkan dengan gapura, bambu runcing, dan bendera, kini pemaknaan tersebut dikemas dalam bentuk yang lebih menarik. Persoalannya apakah gerakan tersebut organik atau dimobilisasi oleh pihak tertentu.
Faruk memberikan penjelasan bahwa apabila gerakan tersebut cenderung spontan dan tidak berkelanjutan maka bisa jadi gerakan dirintis secara tidak organik. Dengan kata lain ada pihak-pihak yang mengendalikan situasi agar bergerak dengan kepentingan tertentu. Namun tidak dengan fenomena pengibaran bendera One Piece kali ini. Faruk menganggap, ada kelanjutan dari gerakan Indonesia Gelap dan Darurat Konstitusi yang sebelumnya telah digaungkan.
“Bisa dilihat apakah ini protes politis atau kreativitas. Dilihat dari sisi kreatif, ini kan strategi komunikasi yang unik dengan menyampaikan kritik melalui konteks tertentu,” ucap Faruk. Kritik disampaikan dengan gaya khas anak muda yang menandai perubahan tren perayaan kemerdekaan. Bahwa masyarakat bukan mengekspresikan gerakan radikal, melainkan justru menyatakan kepedulian terhadap kondisi negara yang memprihatinkan saat ini.
Penulis : Tasya dan Ika
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Firsto