
Perkembangan teknologi Artificial Intelligence (AI) ternyata tidak hanya sebagai alat untuk memudahkan aktivitas pengguna, namun juga memunculkan relasi emosional manusia dengan teknologi. Pakar Ilmu Komunikasi UGM, Mashita Phitaloka Fandia Purwaningtyas, SIP, MA menanggapi isu ini dari sudut pandang struktural. Ia menyebut bahwa kapitalisme modern telah menciptakan kondisi sosial yang memperparah kesepian dan keterasingan, terutama di lingkungan urban yang serba cepat dan kompetitif. “AI hadir sebagai alternatif hubungan yang lebih sederhana, tanpa tuntutan. Sederhananya teknologi AI saat ini sudah memahami realita dunia manusia dan menciptakan ekosistem yang dapat beradaptasi dengan setiap individu,” kata Mashita dalam Diskusi Komunikasi Mahasiswa (Diskoma) yang bertajuk “Jatuh Cinta dengan AI: Tren Komunikasi AI melalui Curhat dan Romantisasi secara daring, kamis (7/8).
Kendati demikian, Mashita mengingatkan bahwa ada resiko privasi dan data pribadi yang perlu diwaspadai. Ia menegaskan bahwa teknologi tidak bebas nilai, karena dibangun oleh sistem dan perusahaan yang memiliki orientasi keuntungan. “Kita hidup di masa yang serba cepat, penuh tekanan, dan minim koneksi yang bermakna. AI menawarkan kenyamanan emosional yang konstan, tanpa biaya emosional maupun finansial seperti dalam hubungan manusia. Tapi kita lupa bahwa teknologi dan AI itu tidak bebas nilai,” tegasnya.
Pembahasan hubungan manusia dengan AI menciptakan ruang diskusi baru yang menarik. Manusia kini tidak hanya hidup berdampingan dengan teknologi, melainkan hidup di dalam teknologi itu sendiri. Fakta ini bisa menjadi kemajuan sekaligus tantangan bagi dinamika komunikasi manusia.
Naufal Firosa, founder Sekolah Cemerlang menyatakan daya tarik AI dalam komunikasi emosional muncul dari kebutuhan manusia akan ruang aman, keintiman tanpa konflik, dan kehadiran yang konsisten. Menurutnya, fenomena ini berdampak pada terbentuknya ekspektasi komunikasi yang tidak realistis dalam relasi manusia sehari-hari. AI dirancang untuk mengikuti struktur komunikasi manusia dengan memberikan unsur humanisme dalam bentuk validasi dan interaksi emosi. Kemudian terciptalah kenyamanan pengguna untuk terus berinteraksi dengan AI. “Ketika kita terbiasa mendapatkan validasi dari AI yang tidak pernah menolak atau menghakimi, kita mulai menaikan standar komunikasi kita. Kita pakai standar komunikasi yang sama ke manusia lain, padahal manusia itu kompleks dan tidak bisa disamakan dengan AI,” jelasnya.
Ketua Diskoma, Defrimont Era, menuturkan kehadiran AI membawa perubahan kehidupan yang signifikan. Sebab, AI tidak hanya sebagai alat bantu teknis, tapi mulai menjadikannya teman curhat, sahabat virtual, bahkan tempat menaruh keintiman. Oleh karena itu, pengguna AI tetap perlu bijak dalam membedakan realitas digital dengan dunia nyata.
Penulis : Tasya
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik