Karya anak muda Indonesia kembali membanggakan di kancah internasional. Film pendek berjudul Mania Dunia Nia yang mana merupakan hasil kolaborasi mahasiswa dari lintas universitas di Indonesia salah satunya Universitas Gadjah Mada, berhasil menyabet gelar Juara 1 dalam kompetisi film Inspiring Indonesia 2025 di Singapura pada 25 Oktober lalu. Film ini pun terpilih mewakili Indonesia ke babak Grand Final Inspiring Asia Microfilm Festival setelah berhasil menyisihkan 860 film yang dikirimkan oleh peserta dari berbagai negara di Asia.
Kompetisi Inspiring Asia Microfilm Festival merupakan ajang internasional yang digagas oleh Lee Foundation dan Asia Philanthropy Circle. Ajang ini diikuti oleh ratusan peserta dari berbagai negara Asia melalui seleksi nasional, seperti Inspiring Singapore, Inspiring Thailand, dan Inspiring Indonesia. Film Mania Dunia Nia dinobatkan sebagai Juara 1 Inspiring Indonesia 2025, sehingga berhak melaju ke tingkat Asia untuk bersaing dengan enam finalis lainnya dari kawasan regional.
Yosafat Prasetya mahasiswa Magister Ilmu Kehutanan sebagai sutradara menceritakan bahwa dirinya bersama dengan Derichson Qualimva yang mana merupakan mahasiswa Teknik Industri yang berperan sebagai editor menceritakan proses mereka dalam memproduksi film ini. Dipertemukan di organisasi semasa SMA menjadikan mereka sepakat untuk menggandeng beberapa teman dari berbagai universitas untuk bersama – sama memproduksi karya ini. “Ada lomba film ini. Dan kebetulan kita lagi liburan kuliah semua. Kemudian momennya tepat dan aku juga punya ide soal cerita yang deket gitu sama aku. Kemudian, oh ya udah gas aja kita bikin gitu,” kata Yosafat, Senin (10/11).
Film Mania Dunia Nia diangkat dari keresahan Yosafat sebagai seorang mahasiswa atas masalah yang sering kewalahan menghadapi tekanan akademik, sosial, dan ekspektasi. Ditambah permasalahan keluarga yang turut melengkapi kompleks permasalahan yang dihadapi oleh seorang mahasiswa. Keresahan ini kemudian dituangkan ke dalam film.Film berdurasi sekitar 10 menit ini menceritakan kisah seorang mahasiswi bernama Nia, yang menjalani satu hari penuh tekanan dan tuntutan dari berbagai arah: tugas kuliah, pekerjaan paruh waktu, hubungan keluarga, hingga distraksi digital yang terus berdatangan.
Di balik rutinitas yang tampak biasa, tersimpan kelelahan mental dan kebutuhan untuk “dilihat” oleh orang-orang di sekitarnya. Film ini menggambarkan kompleksitas kehidupan mahasiswa modern yang sering kali berjuang dalam diam. “Dan kita karena filmnya itu tokoh utamanya seorang perempuan. Aku banyak berdiskusi sama mereka juga,” ungkap Yosafat.
Persiapan dengan waktu yang singkat tak membuat mereka menyerah untuk memberikan yang terbaik. Hambatan dalam proses produksi film seperti cuaca yang kurang mendukung hingga perizinan lokasi yang baru disetujui di hari yang sama. yang terpaksa membuat cukup mengulur waktu. Ditambah lagi dengan proses editing yang sangat singkat dengan waktu submit membuat proses pengumpulan hasil karya sedikit terlambat dari waktu yang telah ditetapkan. “Beruntungnya, periode pengumpulan hasil karya ini diperpanjang sehingga ada waktu untuk kami merevisi apa yang perlu kami revisi”, ungkap Derichson.
Pendekatan visual dan gaya editing yang fragmentaris dipilih untuk menggambarkan kekacauan pikiran dan tekanan mental yang dialami tokoh utama. Film ini diapresiasi oleh para juri, termasuk sutradara Kamila Andini dan Benedion, karena mampu menghadirkan empati dan kedalaman emosi melalui pendekatan fiksi yang intim. Pesan utama film ini adalah pentingnya kesadaran terhadap kesehatan mental, terutama di kalangan mahasiswa yang sering menekan diri untuk terus produktif. “Awalnya kami hanya ingin bersenang-senang dan bernostalgia membuat film. Tapi ternyata, keresahan sederhana bisa menjangkau banyak orang,” ujar Yosafat.
Keberhasilan Mania Dunia Nia menjadi bukti bahwa kreativitas mahasiswa Indonesia mampu bersaing di tingkat Asia. Keduanya berharap karya ini dapat menginspirasi mahasiswa lain untuk lebih terbuka terhadap isu kesehatan mental dan terus berani berkarya tanpa batas. “Berkarya, berkarya aja. Gak usah banyak pikiran, Oh takut gak diterima. Oh takut filmnya gak bisa resonate ke penontonnya. Oh takut ada banyak ketakutan itu. Alih-alih pemikiran ketakutan itu, Ya udah berkarya sebenarnya,” pungkas Derichson.
Penulis : Jelita Agustine
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Dok. Tim Mahasiswa
