Fakultas Filsafat UGM kini berusia 57 tahun, usia yang menjadi tonggak penting dan yang mencerminkan kedewasaan dan kematangan. Selama lebih dari setengah abad, Fakultas Filsafat telah berkontribusi dalam mencetak generasi cendekiawan, pemikir, dan pemimpin yang berintegritas. Setiap capaian yang diraih adalah hasil dari kerja keras, dedikasi, dan komitmen bersama seluruh sivitas akademika.
Dekan Fakultas Filsafat Dr. Rr. Siti Murtiningsih, S.S., M.Hum., mengatakan memperingati Dies ke-57 tentu bukan hanya merayakan apa yang telah dicapai, tetapi sekaligus merenungkan tantangan dan peluang di masa depan. “Bukan sekadar seremonial, Puncak Dies merupakan momentum refleksi atas perjalanan panjang yang telah ditempuh bersama,” kata Dekan saat peringatan puncak Dies ke-57 di Fakultas Filsafat UGM, Senin (19/8).
Pada Dies Natalis kali ini, mengusung tema Philosophy and Religion in a Technologized World. Tema ini sangat menarik, karena menggabungkan dimensi filosofis dan religius dalam konteks dunia yang semakin terhubung dan dipengaruhi oleh teknologi. Menurut Murtiningsih, S.S., teknologi telah menjadi bagian integral dari kehidupan manusia, mengubah cara manusia berinteraksi, bekerja, dan berpikir. Bahkan Filsafat dan Agama, yang selama berabad-abad menjadi landasan refleksi manusia tentang makna hidup, nilai-nilai, dan eksistensi, kini dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan baru yang muncul dari perkembangan teknologi.
Di tengah kemajuan teknologi yang pesat, dia menuturkan, muncul berbagai dilema etis yang membutuhkan panduan dari filsafat dan agama. Misalnya, penggunaan kecerdasan buatan (AI), data pribadi, dan bioteknologi yang menimbulkan pertanyaan tentang privasi, kebebasan, dan hak asasi manusia. Filsafat dan agama menawarkan perspektif mendalam untuk mengevaluasi dampak etis dari teknologi dan memberikan arah untuk penggunaan teknologi yang bertanggung jawab dan bermoral. “Tema ini tentu mengundang kita untuk terus memperbarui dan memperdalam pemahaman kita tentang dunia dan tempat kita di dalamnya, memastikan bahwa kemajuan teknologi membawa manfaat maksimal bagi semua umat manusia,” terangnya.
Selaku Dekan, ia pun dalam kesempatan ini menyampaikan berbagai capaian, tantangan, serta rencana strategis yang telah dan akan dijalankan Fakultas Filsafat UGM. Fakultas hingga saat ini memiliki tiga departemen Filsafat Barat, Filsafat Timur, dan Filsafat Agama, serta mengembangkan minat kajian di bidang Etika, Filsafat Ilmu dan Teknologi, Filsafat Agama dan Budaya, serta Filsafat Sosial dan Politik.
Saat ini, semua program studi, mulai dari Program Sarjana (S1), Magister (S2), hingga Doktor (S3), memiliki akreditasi A. Untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan filsafat yang berkualitas, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) melalui Unit Kerja Jaminan Mutu bekerja sama dengan Satuan Penjaminan Mutu dan Reputasi Universitas terus berupaya untuk meningkatkan standar pembelajaran dan pelayanan pendidikan di lingkungan fakultas. “Kami juga terus melakukan pengembangan kurikulum untuk menyesuaikan dengan kebutuhan zaman. Inovasi dalam metode pengajaran, penggunaan teknologi informasi, serta pengembangan materi yang relevan dengan isu-isu kontemporer menjadi fokus utama kami, untuk mencetak lulusan yang tidak hanya memiliki pengetahuan mendalam di bidang filsafat, tetapi juga mampu beradaptasi dengan dinamika global,” tuturnya.
Rektor UGM, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed.,Sp.OG(K)., Ph.D yang hadir di puncak Dies ke-57 Fakultas Filsafat UGM turut merasakan kegembiraan perayaan. Disebutnya tema Dies kali ini bisa sangat menarik sekaligus menantang. Menariknya karena tema ini merupakan isu kontemporer, sekaligus menantang karena melalui tema ini sepertinya Fakultas ingin mempertanyakan mengenai bagaimana masa depan Filsafat dan Agama di tengah perkembangan teknologi yang begitu masif. “Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa sains dan teknologi sudah mencapai peningkatan perkembangan luar biasa terutama dalam kapasitasnya mengembangkan kecerdasan artifisial,” ungkapnya.
Rektor mengatakan teknologi bukan hanya sebatas instrumen atau alat. Karena ia tak hanya mengubah bidang kemampuan kerja saja, namun juga mengubah paradigma dan juga prinsip-prinsip eksistensi hidup manusia, termasuk mengubah bagaimana nilai-nilai kebenaran, keyakinan, serta bangunan-bangunan moralitas hidup lainnya harus diinterpretasikan ulang. Tentu saja hal tersebut bisa menjadi tantangan serius bagi agama dan filsafat. “Karena tanpa kita sadari, mesin teknologi dalam nalar algoritma kerja akan bisa menyelesaikan segala hal dengan cerdas, namun ia juga memiliki satu prinsip dasar kekurangan yakni ketiadaan akal budi yang memiliki kemampuan untuk menalar, menimbang dan melakukan penghayatan atas nilai hidup”, tuturnya.
Dr. Mustofa Anshori Lidinillah, M.Hum selaku ketua panitia dies kali ini menyatakan tema Philosophy and Religion in a Technologized World merupakan tema menarik yang menghadirkan dua entitas penting bagi hidup manusia. Filsafat dan agama memiliki karakter yang berbeda, namun harus disatukan dalam diri manusia untuk mencapai ketinggian martabat.
Boleh jadi, katanya, dua entitas ini hadir secara fluktuatif dalam hidup manusia. Suatu saat dirasa sangat dibutuhkan, dan suatu saat tidak dianggap atau bahkan suatu saat justru dijauhi dengan berbagai alasan. “Tantangannya adalah bagaimana menghadirkan agama dan filsafat dalam hidup atau dunia kita secara konstan atau bahkan menaik semakin intensif,” ucapnya.
Mustofa Anshori mengatakan berbagai kegiatan telah dilaksanakan memeriahkan Dies ke-57 Fakultas Filsafat. Diantaranya rangkaian lomba olah raga, family gathering, dan festival karawitan, batik dan jajanan nusantara. Rencananya, pihaknya akan menyelenggarakan International Conference of Nusantara Philosophy bertema Philosophy of Well-Being: Revisiting the Idea of Sustainable Living and Development pada November mendatang.
Penulis : Agung Nugroho