Pemerintah kini tengah mendorong percepatan pembangunan ekonomi melalui berbagai program prioritas seperti swasembada pangan, energi, hingga hilirisasi komoditas strategis. Dalam sebuah webinar bertajuk ‘Sinergi Ilmu dan Kelembagaan untuk Pertanian Berkelanjutan’, Guru Besar Fakultas Teknik UGM, Prof. Ferian Anggara, S.T., M.Eng., IPM., memaparkan bahwa riset Gamahumat menjadi salah satu inovasi yang selaras dengan agenda tersebut sekaligus mendukung target net zero emission (NZE). “Dengan memanfaatkan cadangan batu bara kalori rendah, kita masih punya sekitar 6 miliar ton sumber daya yang mendukung NZE di sektor agroindustri,” jelasnya, Jumat (21/11) silam.
Ferian menjelaskan bahwa riset Gamahumat saat ini berfokus pada pengembangan material mentah dan proses produksinya, sementara uji lapangan dilakukan bersama para ahli ilmu tanah, pertanian, kehutanan, serta berbagai pemangku kepentingan yang relevan. Pendekatan lintas disiplin dianggap penting untuk memastikan hasil riset dapat diterapkan secara tepat di berbagai jenis lahan.
Dalam paparannya, Ferian mengemukakan bahwa Gamahumat merupakan pembenah tanah berbasis lignite, atau batubara peringkat rendah, yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal. Melalui proses rekayasa teknik, lignite diolah menjadi humat berkualitas tinggi untuk memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan kesuburannya. “Kami menyebutnya sebagai Gamahumat Lignite-Based Soil Stabilizer, karena memang pondasinya adalah memulihkan tanah yang sudah kehilangan kualitasnya,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa humus sudah lama dikenal sebagai komponen penting kesuburan tanah, sementara Gamahumat hadir sebagai versi rekayasanya dalam volume besar dan kualitas yang lebih terkontrol. “Sederhananya, humat itu ya humus. Bedanya, yang kami buat volumenya jauh lebih besar dan kualitasnya bisa disesuaikan kebutuhan lahan,” katanya.

Menurut Ferian, salah satu persoalan terbesar pertanian adalah tanah yang menjadi bantat akibat pemupukan berulang. Humat berfungsi membenahi struktur tanah sehingga akar tanaman kembali mampu menyerap unsur hara secara optimal. Penggunaan humat dalam jangka panjang juga dapat menekan kebutuhan pupuk kimia tanpa menurunkan produktivitas.
Meski begitu, ia menegaskan bahwa Gamahumat bukan pengganti pupuk NPK. Fungsinya membenahi tanah agar pemupukan menjadi jauh lebih efisien. Ia mencontohkan efektivitas pupuk kimia yang sering kali hanya 50 persen karena hilang oleh pencucian, humat membantu memulihkan kehilangan tersebut melalui perbaikan kualitas tanah. Takaran penggunaan Gamahumat pun sangat bergantung pada kondisi tanah dan jenis tanaman.
Produk Gamahumat telah diuji pada berbagai jenis lahan, mulai dari perkebunan sawit Bukit Asam, kawasan karst, hingga area bekas tambang dengan tingkat keasaman yang tidak ideal. Di sektor pertambangan, kebutuhan humat sangat besar mengingat perusahaan tambang besar wajib mereklamasi ratusan hektar lahan setiap tahun. “Bayangkan itu baru dari satu perusahaan, kita akan punya area yang lebih luas, dan lahan bekasnya itu bisa digunakan untuk mendukung pertanian maupun perkebunan selanjutnya,” ujarnya.
Kini, Gamahumat telah memperoleh sertifikasi produk grade A sesuai standar Kementerian Pertanian. Dengan capaian tersebut, inovasi ini diharapkan dapat menjadi solusi bagi pengelolaan lahan ekstrem, reklamasi tambang, serta pembukaan lahan untuk ketahanan pangan di masa depan. “Kami ingin riset ini membumi dan digunakan para frontliner, oleh para petani yang berkecimpung di lahan pertanian,” tegas Prof. Ferian.
Kegiatan webinar yang telah berlangsung ini merupakan bagian dari kampanye sains dan teknologi: ‘Riset Kuat, Pangan Hebat’, yang didukung oleh Direktorat Diseminasi dan Pemanfaatan Sains dan Teknologi, Kemdiktisaintek, melalui Program Kampanye Tematik Sains dan Teknologi (Resona Saintek).
Penulis: Hanifah
Editor: Triya Andriyani
Foto: Donnie
