Kondisi Plaza Pasar Ngasem pada malam hari Kamis (8/8) itu cukup ramai karena ada pembukaan event Yogyakarta Gamelan Festival 2024. Diantaranya riuhnya penonton, terdapat puluhan dosen dari Departemen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi (DTETI), Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada berkumpul untuk menyaksikan pementasan gamelan elektronik atau dikenal dengan nama Gameltron Evo.
Pada acara pembukaan Yogyakarta Gamelan Festival tersebut, Gameltron Evo dimainkan oleh Komunitas Gayam 16, sebuah komunitas pengembangan seni gamelan yang berkantor di Kecamatan Kraton, Yogyakarta. Komunitas inilah yang menjalankan kegiatan Yogyakarta Gamelan Festival 2024 sebagai pertemuan tahunan secara internasional antara pecinta gamelan, pemain gamelan, dan media untuk terlibat jauh dalam dunia seni gamelan.
Gameltron Evo dimainkan oleh total 15 pemain gamelan di bawah pimpinan Ageng Purwo Ariyatno. Komposisi karya dalam pementasan tersebut di antaranya Ladrang Sri Slamet Laras Slendro Pathet Manyura; Ladrang Ayun-Ayun, Ketawang Ilir-Ilir, dan Suwe Ora Jamu; Ladrang Pangkur, Sluku Bathok; dan Lancaran Kuwi Apa Kuwi.
Ketua tim peneliti gamelan elektronik ini, Ir. Addin Suwastono, S.T., M.Eng., IPM., mengatakan Gameltron Evo hadir dengan gebrakan besar untuk menyederhanakan bentuk gamelan tradisional. Kita biasa menjumpai berbagai alat musik gamelan seperti kendang, bonang, gambang, kendang, kempul, dan gong biasanya dimainkan oleh penabuh yang berbeda. Dengan gameltron inisiasi almarhum Prof. Adhi Susanto ini, seluruh alat musik gamelan dijadikan satu dalam teknologi tersebut, dilengkapi sensor suara untuk memantulkan bunyi gamelan aslinya.
Perbedaannya ada pada bahan gameltron yang lebih ringan dengan biaya produksi yang lebih rendah dibandingkan gamelan aslinya. Misalnya, gong dibuat dengan kap lampu dan rotan, saron dibuat dengan kayu, sementara pangkon-nya menggunakan besi. Sementara bonang dibuat menggunakan 3D printing.
Di samping peralatan gamelan terdapat “gunungan” yang merupakan sound module. Dari sini, bunyi dimanipulasi menjadi suara gamelan asli yang telah tersimpan. Adapun gamelan fisik yang dibuat menjadi controller atau trigger untuk ditabuh oleh penabuh gamelan. Kemudian, speaker amplifier juga dimanfaatkan untuk meningkatkan dan memperkuat sinyal suara dari sound module untuk menghasilkan suara yang dapat didengar dengan jelas.
Disampaikan oleh Addin, kesamaan cara memainkan gameltron menjadi cara untuk mendekatkan gamelan kepada masyarakat. Menurutnya, gameltron evo didesain agar praktis. “Perkembangan gameltron membuat kita bisa memainkan gamelan dengan earphone di dalam kamar,” ujar Addin.
Inovasi gamelan elektronik yang terus berkembang ini menjadi bentuk preservasi budaya gamelan. Dari gameltron yang diinisiasi pada 1970 hingga menjadi Gameltron Evo pada 2023, perkembangan ini menunjukkan bahwa dosen-dosen di Fakultas Teknik UGM tak putus upaya mensinergikan teknologi dengan tradisi untuk menciptakan sesuatu tanpa meninggalkan akar budaya. Proyek gamelan elektronik oleh tim peneliti ini menjadi jembatan antara budaya tradisional dan modern, memperkuat posisi gamelan dalam lanskap musik Indonesia.
Penulis : Rasya Swarnasta/DTETI FT
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Dok. Yogyakarta Gamelan Festival