
Kampanye mitigasi perubahan iklim kepada seluruh lapisan masyarakat memerlukan dukungan media dalam memperkuat komunikasi publik yang inklusif dan efektif. Pendekatan yang adaptif dan relevan secara lokal menjadi kunci, terlebih di wilayah pedesaan yang rentan terhadap dampak iklim. Indonesia sendiri telah memulai langkah ini melalui Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN API) 2014 yang menekankan pentingnya sosialisasi dan peningkatan kesadaran publik atas perubahan iklim dan dampaknya.
Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Republik Indonesia, Nezar Patria, mengatakan isu perubahan iklim membutuhkan respons berbasis bukti dengan tingkat urgensi tinggi, bukan sekadar menunggu konsensus ilmiah yang absolut. Ia menyampaikan bahwa perubahan iklim merupakan isu yang membutuhkan tindakan berbasis bukti kuat dan urgensi tinggi, alih-alih menunggu semua fakta ilmiah benar-benar mutlak. Namun demikian, Nezar juga menyoroti tantangan di tingkat praktik, di mana sebagian besar jurnalis merupakan generalis yang harus menangani isu perubahan iklim yang kompleks. “Jurnalis sangat membantu menjembatani kesenjangan komunikasi antara ilmuwan dan media,” ujar Wakil Menteri dalam workshop CONNECT! #8 bertema ‘Media Communication on Climate Change Policies’. Kegiatan ini berlangsung di Smart Green Learning Center (SGLC) Fakultas Teknik pada Selasa (3/6).
Direktur Kemitraan dan Relasi Global (DKRG)UGM, Prof. Puji Astuti, mengatakan KONEKSI bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada mendorong penguatan komunikasi media serta membuka ruang kolaborasi lintas sektor antara peneliti, pemerintah, mitra pembangunan, dan praktisi, khususnya dalam membahas hasil penelitian bersama UGM dan Deakin University yang melibatkan 14 peneliti dari Indonesia dan Australia. “Kerja sama ini bertujuan memperkuat kemitraan antar lembaga untuk menghasilkan kebijakan dan teknologi yang inklusif dan berkelanjutan,” tuturnya.
Puji menambahkan kerja sama antara perguruan tinggi dari dua negara dengan media ini merupakan wujud nyata diplomasi pendidikan antar bangsa, sekaligus memperkuat kepercayaan publik terhadap komunikasi kebijakan iklim. “Kami berupaya memahami bagaimana masyarakat, khususnya di pedesaan, menerima, memroses, dan mempercayai informasi terkait kebijakan iklim, serta bagaimana kita bisa membangun kepercayaan publik melalui komunikasi yang inklusif dan berbasis data,” ungkap Puji.
Minister Counsellor for Governance and Human Development dari Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT) Australia, Tim Stapleton, turut menyampaikan bahwa kerja sama Indonesia dan Australia terus berkembang untuk mendukung pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Salah satunya melalui kerja sama riset antara UGM dan Deakin University yang akan meningkatkan pembelajaran dua arah antar negara dalam menanggulangi masalah perubahan iklim. Penelitian bersama ini berfokus pada peningkatan komunikasi media untuk membangun ketahanan masyarakat pedesaan terhadap dampak perubahan iklim, sekaligus meningkatkan kapasitas publik dalam menilai informasi yang tersedia dan berpartisipasi dalam kebijakan yang relevan. “Membangun ketahanan di masyarakat pedesaan yang berisiko melalui peningkatan komunikasi media tentang kebijakan perubahan iklim menjadi titik berat riset yang didanai oleh KONEKSI,” tuturnya.
Direktur Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Wahyu Marjaka, menekankan pentingnya partisipasi berbagai pihak untuk menyampaikan pesan iklim secara merata. “Kita perlu memastikan keterlibatan aktif dari berbagai pemangku kepentingan agar informasi tentang iklim dapat menjangkau semua lapisan masyarakat, termasuk di daerah terpencil,” ungkapnya.
Hal senada disampaikan oleh Kepala Badan Lingkungan Hidup dan Kehutanan DIY, Kusno Wibowo, yang menyatakan bahwa sinergi lintas sektor sangat dibutuhkan agar komunikasi iklim tidak berhenti di tingkat wacana. Menurutnya, pemerintah daerah memiliki peran strategis untuk menjembatani kebijakan nasional dan kebutuhan masyarakat di lapangan. Sementara itu, Prof. Greg Barton dari Deakin University Indonesia Campus menggarisbawahi bahwa niat baik masyarakat untuk menjaga lingkungan tidak selalu disertai pemahaman yang cukup tentang perubahan iklim. “Sering kali, masyarakat Indonesia memiliki niat baik tetapi kurang informasi, dan ini bisa menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan,” jelas Barton.
Hasil riset kolaboratif juga dipaparkan oleh Dr. Anna Klas dari Deakin University, yang menjelaskan perbedaan karakteristik pelaporan media tentang iklim di Indonesia dan Australia, terutama dalam konteks masyarakat pedesaan. Ia menyampaikan bahwa hasil risetnya telah mengembangkan alat berbasis AI multibahasa untuk menyediakan informasi yang mudah diakses dan akurat di wilayah-wilayah berisiko. Sedangkan dari perspektif media, Chief AI & Corporate Strategy Kumparan.com, Andrias Ekoyuono, menekankan perlunya kolaborasi antara pembuat kebijakan, masyarakat, dan pelaku bisnis untuk membangun narasi perubahan iklim yang kredibel. “Kami di Kumparan berupaya memastikan akses informasi yang lebih baik tentang perubahan iklim, dan kuncinya adalah kolaborasi lintas sektor,” tegasnya.
Sebagai universitas yang berkomitmen pada nilai kerakyatan, kemandirian, dan keberlanjutan, UGM secara konsisten mengedepankan peran ilmu pengetahuan dan kolaborasi lintas sektor dalam menghadapi tantangan global berbasis pada solusi nyata dan aplikatif. Dalam konteks perubahan iklim, UGM tidak hanya memproduksi pengetahuan, tetapi juga aktif membangun jejaring kerja sama dengan mitra di dalam dan luar negeri untuk memperkuat kapasitas masyarakat, khususnya di wilayah rentan, agar mampu beradaptasi dan berdaya dalam menghadapi dampak iklim secara berkelanjutan di tingkat lokal maupun global.
Penulis : Triya Andriyani
Foto : Donnie