Gelanggang Inovasi dan Kreativitas Universitas Gadjah Mada (GIK UGM) akan menyelenggarakan acara internasional Butoh bertajuk “The Life of Butoh” secara gratis di Joglo GIK UGM pada 4-6 September mendatang. Event ini akan menghadirkan empat performer terkemuka dari Jepang, yaitu Jun Amanto, Mutsumi-Neiro, Rina Takahashi, dan Minoru Hideshima, sedangkan dari Indonesia akan tampil enam performer senior : Rianto, Fitri Setyaningsih, Broto Wijayanto, Anter Asmorotedjo, Endy Baroque, dan Mugiyono Kasido. The Life of Butoh akan menghadirkan live performance, tari kontemporer, pemutaran film Butoh, pameran poster Butoh, dan talkshow di setiap sesi.
Bambang Paningron, Head of Community & Experience GIK UGM mengungkapkan Butoh lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi budaya Barat pasca Perang Dunia II, terutama setelah Jepang mengalami kekalahan dalam perang Asia Timur Raya. Diciptakan oleh Kazuo Ohno dan Tatsumi Hijikata pada tahun 1950 bersamaan dengan perkembangan seni avant-garde di Eropa, Butoh menghadirkan pandangan baru tentang seni pertunjukan dengan menggabungkan elemen teater, tari, dan ekspresi tubuh yang ekstrem. “Gejala ini sangat menarik untuk dikaji karena Butoh terus mengalami transformasi, mengikuti perkembangan zaman dan berubah sesuai dengan gagasan dan tubuh yang baru,” ujarnya.
Bambang menjelaskan, Kazuo Ohno pelopor Butoh, pernah hadir di Taman Ismail Marzuki pada tahun 1980-an, Butoh juga pernah tampil di Yogyakarta pada tahun 2009 dengan acara bertajuk sama “The Life of Butoh”. Seringkali Butoh dikenal sebagai cerminan keikhlasan seniman dalam berekspresi dan kehidupan sehari-hari mereka. Dikenal karena penekanan pada ekspresi individual dan bentuk tubuh yang tidak terduga, Butoh menolak batasan-batasan konvensional dalam seni pertunjukan. GIK berharap event ini akan menjadi wacana baru dan bisa dikaji ulang bagaimana kesenian ini bisa berpengaruh di dunia dalam waktu yang singkat. “Bandingkan dengan Indonesia dengan seni pertunjukan yang jumlahnya tidak terhitung tapi masih belum berpengaruh besar, kecuali gamelan ya, karena bentuknya tangible. Kita akan banyak belajar dan diskusi terkait hal ini,” jelas Bambang.
Aji Wartono, Chief of Program GIK UGM, turut menjelaskan esensi dari pentingnya menampilkan seni Butoh di GIK UGM. Sebagai entitas yang mengintegrasikan ilmu pengetahuan, estetika (seni budaya), dan teknologi, sinergi antara ketiga aspek ini akan lebih optimal jika diapresiasi oleh mahasiswa, pelajar, dan masyarakat umum. Menurutnya, ilmu pengetahuan-seni budaya-dan teknologi bukan merupakan entitas yang berbeda tetapi harus bersatu dan saling melengkapi. Ilmu pengetahuan dan teknologi membuat penemuan-penemuan untuk kemudahan hidup, kemudian seni budaya memberikan sentuhan humanis agar lebih bisa dirasakan oleh manusia, dan GIK merasa harus memberikan ruang tersebut melalui seni pertunjukan “The Life of Butoh”.
“Kita juga harus belajar dan melihat budaya-budaya yang lain, hal ini akan menjadi titik tolak dalam meluaskan wawasan dan mengembangkan seni dan budaya kita sendiri,” ungkap Aji. Lebih lanjut, Aji menerangkan bahwa GIK sebagai hub harus menghubungkan berbagai bidang, komunitas, dan entitas, sehingga diharapkan kegiatan ini tidak hanya sekedar pentas tapi bisa menghasilkan sesuatu yang berharga dan baru dari kolaborasi yang akan terjadi. Kolaborasi seniman Butoh dari Indonesia dan Jepang ini sekaligus sebagai fasilitator pertukaran budaya lintas negara untuk melestarikan warisan budaya global.
Aji memastikan bahwa seniman yang akan ditampilkan adalah seniman yang memang memiliki kapasitas sebagai performer seni pertunjukan Butoh. “Ini merupakan kesempatan langka untuk menyaksikan Butoh di Yogyakarta, setelah terakhir kali acara serupa digelar di kota ini 15 tahun yang lalu. Jadi jangan lupa untuk hadir ya,” pesannya.
Penulis/Foto: Triya Andriyani