Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2019 melaporkan adanya 700.000 kematian yang diakibatkan oleh resistensi mikroba, khususnya yang terbanyak adalah infeksi saluran nafas, penyakit menular seksual dan infeksi saluran kemih. Salah satu kelompok peneliti bahkan meramalkan terjadinya kematian yang sangat besar pada tahun 2050 akibat resistensi mikroba terhadap antimikroba.
Menurut Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. apt. Ika Puspita Sari, M.Si. salah satu kunci penting pengendalian resistensi mikroba terletak pada penerapan One Health, yaitu pendekatan kolaborasi, multi disiplin, pada tingkat lokal hingga global, terkait kesehatan manusia dengan hubungannya terhadap kesehatan hewan dan lingkungan.
“Pemberian antimikroba kepada hewan ternak yang tidak bijak akan memunculkan mikroba yang resisten terhadap antimikroba, yang akan masuk kepada manusia melalui makanan. Residu antimikroba pada daging ternak tidak rusak oleh berbagai metode memasak makanan akan masuk ke dalam tubuh manusia. Dari sisi manusia, penggunaan antimikroba yang bijak merupakan kunci melambatnya resistensi,” terang Ika dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Bidang Farmakologi dan Toksikologi yang digelar di Balai Senat UGM, Kamis (7/12).
Penggunaan antimikroba bijak, lanjut Ika, diartikan sebagai penggunaan antimikroba pada indikasi yang ketat, menggunakan antimikroba spektrum sempit, dosis adekuat, interval dan lama pemberian yang tepat. Antimikroba bijak mengutamakan prinsip pembatasan penggunaan antimikroba Access, Watch dan Reserve (AWaRe) dengan disertai dengan penerapan farmakokinetik dan farmakodinamik.
Kegiatan dalam upaya mengendalikan resistensi antimikroba dengan meningkatkan kualitas penggunaan antimikroba dengan tujuan meningkatkan kesembuhan pasien dan keselamatan pasien dicanangkan secara nasional dengan program penatagunaan antimikroba yang merupakan terjemahan dari antimicrobial stewardship program dari WHO.
“Ilmu yang harus dikuasai oleh farmasi dalam upaya menjalankan penatagunaan antimikroba adalah pemahaman farmakokinetik dan farmakodinamik yang diaplikasikan tergantung organ sumber infeksi yang akan memberikan konsekuensi pemilihan antimikroba optimal,” paparnya.
Dalam pidatonya Ika memberikan paparan terkait sifat fisika kimia antimikroba. Sifat fisika kimia antimikroba, menurutnya, akan memberikan konsekuensi pada jumlah obat yang mengalami penetrasi menembus membran menuju lokasi infeksi.
Kondisi pasien pun menentukan jalur pemberian antimikroba. Bagi pasien dalam kondisi kritis, maka pemberian antimikroba bijak mengutamakan masuknya antimikroba sesegera mungkin mengingat penundaan antimikroba akan meningkatkan kematian pasien. Misalnya, pasien sepsis risiko tinggi yang tidak mendapatkan antimikroba sesegera mungkin memiliki kemungkinan mengalami kematian tiga kali lipat.
Berbagai tantangan dalam optimalisasi antimikroba, menurut Ika, menunjukkan pentingnya peran ilmu farmakokinetik dan farmakodinamik. “Peran ilmu farmakologi khususnya farmakokinetik dan farmakodinamik harus terus ditingkatkan mengingat optimalisasi antimikroba dan obat-obat lainnya membutuhkan pertimbangan farmakokinetik dan farmakodinamik,” pungkasnya.
Penulis: Gloria
Fotografer: Firsto