Indonesia dianggap sebagai negara megabiodiversitas karena menjadi salah satu negara paling kaya akan keanekaragaman hayati di dunia. Meski demikian, keanekaragaman hayati Indonesia juga menghadapi ancaman serius seperti deforestasi, perubahan iklim, dan perburuan ilegal. Kondisi ini menegaskan pentingnya upaya konservasi alam dan pelestarian biodiversitas, salah satunya melalui identifikasi satwa secara molekuler.
Menurut Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (FKH UGM), Prof. Dr. drh. Rini Widayanti, MP., identifikasi satwa secara molekuler sangat penting dalam konteks konservasi karena beberapa spesies mungkin sulit atau bahkan tidak dapat dibedakan secara morfologi dengan spesies lain yang serupa. Selain itu, identifikasi molekuler dapat membantu dalam memperoleh berbagai informasi krusial dalam merencanakan program pemuliaan dan manajemen yang efektif.
“Tidak kalah pentingnya, identifikasi molekuler digunakan untuk mendeteksi penyakit atau patogen yang dapat mengancam populasi satwa liar. Dengan mendeteksi infeksi atau penyakit sejak dini, kita dapat mengambil tindakan preventif dan pengobatan yang sesuai untuk melindungi populasi tersebut,” paparnya, Selasa (21/11).
Rini menerangkan, Indonesia sebagai negara megabiodiversitas memiliki dua kawasan penting (hotspots) keanekaragaman hayati yang terancam, yaitu Sunda Barat dan Wallacea, serta Kawasan hutan hujan tropis di Melanesia termasuk Papua. Hal ini ia paparkan dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar bidang ilmu Biokimia yang berjudul “DNA Mitokondria sebagai Barcode untuk Identifikasi Satwa Liar dalam Upaya Keberhasilan Pelestariannya”.
Dalam pidatonya, ia menjelaskan hasil identifikasi beberapa satwa dan kekerabatannya berdasar analisis sekuen DNA mitokondria, seperti Tarsius, Kuskus, dan Catfish asli Indonesia. Tarsius yang merupakan satu dari 24 primata endemik menurutnya rentan terhadap perubahan habitat dan aktivitas manusia, sehingga penting untuk dilindungi dan dilestarikan.
Dalam penelitiannya, ia mengambil sampel Tarsius dilakukan dari beberapa wilayah yakni Sulawesi utara, Sulawesi Tengah, Lampung, dan Kalimantan. Hasil analisis fragmen DNA mitokondria, terangnya dapat digunakan untuk mengidentifikasi Tarsius asal Sulawesi Utara (Tarsius spectrum), Sulawesi Tengah (Tarsius dianae), Lampung (Tarsius bancanus), dan Kalimantan (Tarsius bancanus borneoensis).
“Mereka menghadapi ancaman dari perdagangan ilegal dan pemeliharaan ilegal sebagai hewan peliharaan, yang harus diatasi melalui upaya konservasi yang tepat. Dengan demikian, perlindungan Tarsius dan habitatnya sangat penting untuk menjaga kelangsungan hidup spesies ini di Indonesia,” kata Rini.
Rini menyimpulkan bahwa identifikasi satwa secara molekuler berdasar sekuen gen-gen DNA mitokondria memiliki berbagai keuntungan yang sangat berarti karena kemampuannya mengidentifikasi spesies dengan tingkat akurasi tinggi, membantu dalam penemuan spesies baru, mengungkap perdagangan produk pangan hewan ilegal, serta mengukur tingkat keanekaragaman genetik dalam populasi satwa liar.
Selain itu, metode ini juga mendukung pelacakan pergerakan populasi, memungkinkan penyusunan kebijakan konservasi berdasarkan bukti yang kuat, serta fokus pada perlindungan habitat dan penegakan hukum terhadap perdagangan ilegal.
“Secara keseluruhan, identifikasi satwa dengan metode molekuler merupakan alat penting dalam upaya melindungi keanekaragaman hayati dan mengelola populasi satwa liar secara berkelanjutan,” pungkasnya.
Penulis: Gloria
Fotografer: Donnie