Indonesia memiliki wilayah yang rentan terhadap bahaya geologi karena posisinya berada pada pertemuan tiga besar lempeng besar dunia. Oleh karena itu, penempatan manusia beserta hasil budayanya pada tempat yang aman merupakan kunci pertama dalam aspek pengurangan risiko bencana.
Menurut Prof. Dr.Eng. Ir. Wahyu Wilopo, S.T., M.Eng, IPM, penataan wilayah berbasis informasi bahaya geologi menjadi keharusan saat ini. Hal itu dilakukan guna menghindari atau mengurangi korban jiwa, kerugian ekonomi dan dampak sosial budaya sekaligus untuk menjamin keberlanjutan pembangunan.
“Identifikasi kondisi bawah permukaan yang detail dengan melakukan pemetaan geologi, survei geofisika, maupun pemboran akan sangat membantu dalam desain pembangunan infrastruktur di atasnya sesuai dengan daya dukung geologi,” ungkapnya di Balai Senat UGM, Selasa (17/10).
Wahyu Wilopo mengatakan hal itu saat dirinya dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Geologi Lingkungan pada Fakultas Tehnik Universitas Gadjah Mada. Dalam pengukuhan tersebut dia menyampaikan pidato berjudul Geologi Lingkungan Untuk Mendukung Pembangunan Berkelanjutan.
“Jumlah penduduk yang terus bertambah dan eksploitasi sumber daya alam yang makin besar akan memicu berbagai permasalahan lingkungan yang akan menyebabkan timbulnya bahaya yang mengancam bagi manusia. Di sisi lain, proses dinamika bumi yang terus berlangsung juga akan berpengaruh terhadap kejadian bencana di bumi ini,” ucapnya.
Wilopo berpendapat dengan jumlah penduduk yang makin besar dan desakan ekonomi akan membuat banyak masyarakat memanfaatkan daerah-daerah berbahaya untuk tempat tinggal maupun tempat berusaha yang tentunya akan meningkatkan risiko bencana. Oleh karena itu, menurutnya, perlu usaha pendidikan dan penyadaran masyarakat akan pentingnya keamanan dari ancaman bahaya alam atau bahaya yang dipicu oleh aktivitas manusia itu sendiri.
“Kajian geohazard menjadi perlu dilakukan di area-area yang akan dikembangkan dan daerah di sekitarnya, baik untuk keperluan pemukiman, pertanian, industri, maupun pertambangan,” terangnya.
Dengan demikian, tindakan mitigasi dapat dilakukan untuk menghilangkan maupun meminimalkan dampak bahaya yang akan muncul di kemudian hari. Mitigasi yang efektif dan efisien adalah mitigasi yang melibatkan semua pemangku kepentingan dan semua unsur masyarakat.
Baginya teknologi mitigasi bencana maupun sistem peringatan dini tidak perlu harus sangat maju, cukup tepat guna dan tepat sasaran disesuaikan dengan kondisi sumber daya manusia yang ada, infrastruktur, kondisi ekonomi, dan sosial budaya masyarakat. Semua itu yang terpenting adalah untuk menjamin keberfungsian dan keberlanjutan dari teknologi tersebut sehingga negara akan kuat menghadapi bencana apabila masyarakatnya tangguh menghadapi bencana.
Dia mengakui perubahan iklim global merupakan hal yang tidak bisa dihindari, namun semua bisa berkontribusi untuk memperlambat proses dan meminimalkan dampaknya. Oleh sebab itu, semua harus mulai memanfaatkan sumber daya energi yang ramah lingkungan dan semua harus siap untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim tersebut dalam semua aspek kehidupan untuk menyelamatkan bumi.
“Pemanfaatan sumber daya alam harus sebanding dengan pembentukan dari sumber daya tersebut. Jadi, perlu usaha meminimalkan pengambilan langsung dari alam dengan cara melakukan pengolahan kembali terhadap sumber material yang sudah ada ataupun mencari sumber material alternatif yang mempunyai fungsi dan kegunaan yang sama,” tandasnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Donnie