Berdasarkan teori dalam khasanah hukum keluarga, sistem perceraian dibagi menjadi dua klasifikasi, yaitu perceraian berdasarkan kesalahan (fault-based divorce) dan perceraian tidak berdasarkan kesalahan (non-fault-based divorce). Di Indonesia sendiri, berdasarkan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. PP Nomor 9 Tahun 1975 ditentukan bahwa perceraian harus diajukan ke muka sidang pengadilan dengan disertai alasan sebagaimana dimuat pada Penjelasan Pasal 39 UUP 1974 jo. Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975. Hal ini menjadikan negara ini menganut sistem yang lebih condong ke arah sistem perceraian berbasis kesalahan (fault-based divorce). Prosedur ini sejalan dengan salah satu asas penting yang ditekankan dalam UU Perkawinan yaitu asas mempersulit perceraian.
Hal itu disampaikan Dosen Fakultas Hukum UGM Prof. Dr. Hartini, S.H., M.Si., dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar dalam Ranting Ilmu/Kepakaran Penyelesaian Perkara Bidang Hukum Islam, Kamis (30/10), di Ruang Senat Gedung Pusat UGM.
Hartini dalam pidatonya yang berjudul “Memodifikasi Model Perceraian Tidak Berbasis Kesalahan Dalam Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia” menambahkan, meskipun Indonesia condong menganut sistem perceraian berbasis kesalahan, ternyata hukum perceraian di Indonesia mengadopsi pula konsep perceraian nonkesalahan dengan dimasukkannya konsep onheelbare tweespalt. Konsep ini berasal dari bahasa Belanda, yang berarti percekcokan atau perselisihan yang terus-menerus dan tidak ada harapan lagi untuk hidup rukun dalam rumah tangga. Konsep ini dalam sistem hukum perceraian nonkesalahan dikenal dengan beberapa istilah seperti irretrievable breakdown of a marriage (pecahnya perkawinan yang tidak dapat diperbaiki) atau irreconcilable differences (perbedaan yang sulit didamaikan) yang merujuk pada suatu kondisi bahwa perkawinan telah pecah. Konsep onheelbare tweespalt masuk menjadi salah satu alasan perceraian pada huruf f Pasal 39 UUP 1974 jo. Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975 yaitu “Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”. Hal ini dapat menjadi pintu masuk untuk mengakomodir model perceraian tidak berbasis kesalahan. Alasan huruf f ini adalah satu-satunya alasan perceraian yang tidak menyebutkan adanya kesalahan, dirumuskan tidak dalam bentuk formulasi melakukan perbuatan yang dikategorikan melanggar hukum atau melakukan perbuatan tidak bermoral serta tidak berusaha menyalahkan salah satu pihak. Di dalamnya tidak ada kualifikasi “perbuatan” yang dikategorikan sebagai kesalahan yang dilekatkan pada subjek hukum yaitu suami atau isteri seperti halnya pada alasan perceraian lain
Selanjutnya, Hartini menjelaskan bagaimana yurisprudensi Mahkamah Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) telah memperluas makna Pasal 19 huruf f dan telah ada pergeseran paradigma yang lebih fokus pada pembuktian bahwa perkawinan sudah pecah (broken marriage), bukan paradigma yang cenderung mencari kesalahan atau pihak penyebab kesalahan. SEMA terbaru No. 03 Tahun 2023 bahkan dapat dikatakan sebagai bentuk pengaturan yang sebenarnya mulai dipengaruhi oleh sistem perceraian tidak berbasis kesalahan yaitu dengan mewajibkan pembuktian pisah tempat tinggal minimal enam bulan secara kumulatif dengan perselisihan dan pertengkaran terus-menerus.
Ia pun berpendapat bahwa sudah saatnya di Indonesia khususnya di lingkungan Peradilan Agama memodifikasi sistem perceraian yang tidak berbasis kesalahan, terutama untuk perceraian dengan alasan perselisihan dan pertengkaran terus-menerus yang tidak bisa didamaikan lagi. Modifikasi ini bertujuan untuk memitigasi dampak konflik berkepanjangan dalam rumah tangga dan agar proses perceraian tidak lagi fokus pada saling menyalahkan yang dapat memperburuk konflik, melainkan lebih fokus pada bukti bahwa perkawinan memang sudah tidak bisa dipertahankan (broken marriage) dan mengutamakan pengasuhan anak pasca perceraian dengan memperhatikan kepentingan terbaik anak. “Jika perselisihan dan pertengkaran terus-menerus terjadi dan sulit didamaikan, maka dapat dikualifikasi perkawinan sudah pecah,” jelasnya.
Selain itu, Hartini pun menjelaskan bahwa memodifikasi model perceraian dengan mengakomodir sistem perceraian tidak berbasis kesalahan tidak berarti menghapus model perceraian berbasis kesalahan. Model perceraian berbasis kesalahan tetap dapat dipergunakan dengan mendasarkan pada alasan perceraian Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975 huruf a-e ditambah huruf g dan h Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sementara perceraian nonkesalahan menggunakan alasan huruf f. Menurutnya perceraian tidak berbasis kesalahan dalam hukum acara peradilan agama di Indonesia tidak bertentangan dengan prinsip mempersulit perceraian dan juga hukum Islam karena perceraian tetap melalui tahapan-tahapan dan prosedur beracara berdasarkan hukum acara peradilan agama. Ditambah dalam hukum Islam sendiri dikenal model perceraian non kesalahan yaitu perceraian dengan khuluk yang sejatinya merupakan perceraian yang didasarkan pada kesepakatan antara suami isteri dengan pembayaran sejumlah iwadh (uang tebus) oleh isteri kepada suami dan diakhiri dengan pengucapan talak oleh suami.
Beberapa point penting yang disampaikan oleh Hartini dalam memodifikasi perceraian tidak berbasis kesalahan yaitu: Pertama, karena perceraian nonkesalahan tidak mengulik kesalahan, maka gugatan asesor (gugatan tambahan) seperti pembagian harta bersama, hak asuh anak, dll diselesaikan secara nonlitigasi di luar pengadilan atau melalui proses mediasi dan dapat dikuatkan dengan putusan pengadilan sekaligus dengan putusan perceraian. Kedua, dalam rangka mencegah perceraian yang impulsif maka prosedur atau tahapan pisah rumah wajib diterapkan, tetapi sebaiknya durasi waktunya tidak hanya berkisar 6 bulan (seperti ketentuan SEMA saat ini). Di beberapa negara, pisah rumah ini bisa dirancang dengan durasi yang bervariasi antara satu tahun atau dua tahun atau lebih. Ketiga, dengan model perceraian nonkesalahan, maka akan membuka peluang diterapkannya hak asuh anak bersama (sharing custody) sebagai bentuk pelengkap hak asuh anak yang selama ini sudah dikenal di peradilan agama dan cenderung diberikan dengan model hak asuh anak tunggal (sole custody), tentunya dengan mengedepankan prinsip kepentingan terbaik anak. Sole custody adalah hak asuh anak yang diberikan kepada salah satu orang tua dengan kecenderungan diberikan kepada Ibu atau garis Ibu (maternal preference) ketika anak belum berumur 12 tahun dan umumnya diberikan dengan menilai ada kesalahan atau tidak.
Prof. Dr. Muh. Baiquni, M.P.P, selaku Ketua Dewan Guru Besar mengumumkan bahwa Prof. Hartini merupakan salah satu dari 542 Guru Besar Aktif dan di tingkat fakultas merupakan salah satu dari 16 dari Guru Besar Aktif dari 27 Guru Besar yang pernah dimiliki Fakultas Hukum UGM.
Penulis : Leony
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Donnie
