 
							
		Berdasarkan teori dalam khasanah hukum keluarga, sistem perceraian dibagi menjadi dua klasifikasi, yaitu perceraian berdasarkan kesalahan (fault-based divorce) dan perceraian tidak berdasarkan kesalahan (non-fault-based divorce). Di Indonesia sendiri, berdasarkan UU Perkawinan Tahun 1974, membuat negara ini menganut sistem yang lebih condong ke arah sistem perceraian berbasis kesalahan (fault-based divorce) dan salah satu asas penting yang ditekankan adalah mempersulit perceraian dengan ditetapkannya perceraian harus diajukan ke muka sidang pengadilan dan harus disertai dengan alasan-alasan perceraian.
Hal itu disampaikan Dosen Fakultas Hukum UGM Prof. Dr. Hartini, S.H., M.Si., dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar dalam bidang Ilmu Penyelesaian Perkara dalam Hukum Islam, Kamis (30/10), di Ruang Senat Gedung Pusat UGM.
Hartini dalam pidatonya yang berjudul “Memodifikasi Model Perceraian Tidak Berbasis Kesalahan Dalam Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia” menambahkan, meskipun condong menganut sistem kesalahan, ternyata hukum perceraian di Indonesia mengadopsi pula konsep non kesalahan, ondeelbare tweespalt. Konsep ini berasal dari bahasa Belanda, yang berarti mengacu pada percekcokan atau perselisihan yang terus-menerus dan tidak ada harapan lagi untuk hidup rukun dalam rumah tangga. “Hal ini menjadi dasar utama bagi pasangan yang akan mengajukan perceraian dengan sistem non kesalahan,” jelasnya.
Selanjutnya, Hartini menjelaskan bahwa bagaimana yurisprudensi Mahkamah Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) telah memperluas makna Pasal 19 huruf f, bergeser dari mencari kesalahan menjadi lebih fokus pada pembuktian bahwa perkawinan sudah pecah (broken marriage). SEMA terbaru No. 03 Tahun 2023 bahkan mewajibkan pembuktian pisah tempat tinggal minimal enam bulan secara kumulatif dengan perselisihan dan pertengkaran terus-menerus.
 Ia pun berpendapat bahwa diperlukan modifikasi sistem perceraian yang ada menuju model yang tidak berbasis kesalahan, terutama untuk untuk kasus perselisihan dan pertengkaran terus-menerus yang tidak bisa didamaikan lagi. Modifikasi ini bertujuan agar proses perceraian tidak lagi fokus pada saling menyalahkan yang dapat memperburuk konflik, melainkan lebih fokus pada bukti bahwa perkawinan memang sudah tidak bisa dipertahankan (broken marriage) dan mengutamakan kepentingan terbaik anak setelah perceraian. “Jika perselisihan dan pertengkaran terus-menerus terjadi dan sulit didamaikan, maka dapat dikualifikasi perkawinan sudah pecah,” jelasnya.
Ia pun berpendapat bahwa diperlukan modifikasi sistem perceraian yang ada menuju model yang tidak berbasis kesalahan, terutama untuk untuk kasus perselisihan dan pertengkaran terus-menerus yang tidak bisa didamaikan lagi. Modifikasi ini bertujuan agar proses perceraian tidak lagi fokus pada saling menyalahkan yang dapat memperburuk konflik, melainkan lebih fokus pada bukti bahwa perkawinan memang sudah tidak bisa dipertahankan (broken marriage) dan mengutamakan kepentingan terbaik anak setelah perceraian. “Jika perselisihan dan pertengkaran terus-menerus terjadi dan sulit didamaikan, maka dapat dikualifikasi perkawinan sudah pecah,” jelasnya.
 Selain itu, Hartini pun menjelaskan bahwa memodifikasi model perceraian tidak berbasis kesalahan dalam hukum acara peradilan agama di Indonesia tidak bertentangan dengan prinsip mempersulit perceraian dan juga hukum Islam. Lebih lanjut, dalam salah satu dari 8 point yang dijabarkannya, Hartini mengusulkan adanya integrasi alasan syiqaq dan khuluk agar mendukung model perceraian non-kesalahan, serta penyelesaian isu harta bersama dan hak asuh anak secara non-litigasi. Modifikasi ini dianggap tidak bertentangan dengan prinsip mempersulit perceraian atau ajaran agama Islam, karena banyak instrumen hukum sudah ada untuk mencegah perceraian impulsif, dan fiqih Islam juga mengakomodir perceraian nonkesalahan seperti khuluk.
Selain itu, Hartini pun menjelaskan bahwa memodifikasi model perceraian tidak berbasis kesalahan dalam hukum acara peradilan agama di Indonesia tidak bertentangan dengan prinsip mempersulit perceraian dan juga hukum Islam. Lebih lanjut, dalam salah satu dari 8 point yang dijabarkannya, Hartini mengusulkan adanya integrasi alasan syiqaq dan khuluk agar mendukung model perceraian non-kesalahan, serta penyelesaian isu harta bersama dan hak asuh anak secara non-litigasi. Modifikasi ini dianggap tidak bertentangan dengan prinsip mempersulit perceraian atau ajaran agama Islam, karena banyak instrumen hukum sudah ada untuk mencegah perceraian impulsif, dan fiqih Islam juga mengakomodir perceraian nonkesalahan seperti khuluk.
Prof. Dr. Muh. Baiquni, M.P.P, selaku Ketua Dewan Guru Besar mengungumkan bahwa Prof. Hartini merupakan salah satu dari 542 Guru Besar Aktif dan di tingkat fakultas merupakan salah satu dari 16 dari Guru Besar Aktif dari 27 Guru Besar yang pernah dimiliki Fakultas Hukum UGM.
Penulis : Leony
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Donnie
 
                        