
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi salah satu masalah kesehatan tidak hanya terjadi di Indonesia namun juga di tingkat global. Pasalnya, penyakit yang berasal virus dengue yang ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti ini menyebabkan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Bahkan saat ini belum ada tatalaksana spesifik untuk manajemen klinis infeksi dengue. Oleh karena itu, upaya pencegahan infeksi tetap menjadi hal utama dalam tata laksana secara umum. Apalagi tingkat infeksi dengue pada anak dan dewasa muda masih sangat tinggi.
“Infeksi dengue merupakan tantangan kesehatan masyarakat yang signifikan, terutama di daerah tropis dan subtropis di dunia.Walaupun angka kematian ini cenderung menurun, namun dengan angka insidensi yang tinggi dan angka kematian absolut sesungguhnya sangat tinggi,” kata Dosen FK-KMK UGM Prof. dr. Eggi Arguni, Sp. A(K), M.Sc., Ph.D., dalam pidato pengukuhan dirinya sebagai Guru Besar dalam bidang Ilmu Kesehatan Anak, Kami (10/4).
Dalam pidato pengukuhan yang berjudul “Infeksi Dengue Pada Anak: Kebutuhan Akan Solusi Inovatif untuk Mengatasi Beban Global”, Eggy mengatakan salah satu tantangan dalam diagnosis dan terapi infeksi dengue yang hingga saat ini hanya bersifat suportif atau simptomatik. Anak dengan infeksi dengue tanpa warning sign dapat di rawat jalan dengan pemberian edukasi yang adekuat kepada orang tua. Sedangkan penggunaan obat-obatan nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) harus dihindari karena dapat memicu perdarahan. “Karena belum tersedia obat antivirus yang spesifik, maka terapi cairan masih merupakan terapi utama untuk dengue,” ujarnya.
Menurutnya, ada beberapa solusi inovatif dalam penanggulangan infeksi dengue, yakni Pertama, menggunakan metode pengendalian vektor yang inovatif, berkelanjutan, dan berbasis bukti juga harus didukung untuk dikembangkan lebih lanjut. Ia menyebutkan, teknologi nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia yang didukung oleh masyarakat dan pemerintah daerah dapat menjadi metode pelengkap dalam pengendalian vektor dengue, apabila model implementasi dalam skala luas dapat dikembangkan.
Kedua, pengembangan penciptaan alat diagnostik yang sensitif dan terjangkau untuk mendeteksi infeksi dengue sedini mungkin serta kesinambungan pengadaan barang diagnostik menjadi kebutuhan klinik yang bekerja di layanan primer. “Pengembangan panduan tatalaksana klinis terintegrasi dengan memerhatikan faktor komorbid dan kondisi khusus juga selayaknya selalu diperbarui,” paparnya.
Ketiga, adanya pengembangan kandidat vaksin dengue dan upaya untuk memasukkan vaksin dengue sebagai vaksin program imunisasi nasional akan menjadi langkah besar dalam upaya pencegahan dengue pada anak di Indonesia. Keempat, penguatan surveilans dengue yang komprehensif dan real time sehingga sedini mungkin dapat mengidentifikasi potensi wabah dan merespon dengan cepat.
Kelima, peningkatan keterlibatan komunitas dalam upaya penanggulangan dengue yang berkesinambungan sangat penting. Wilayah Indonesia sangat luas dan terdiri dari beragam suku dengan karakter masyarakat yang beragam. Terakhir, pengetahuan tentang patogenesis dengue membuka pintu bagi pengembangan penelitian bidang molekuler genetik, tidak hanya untuk virus dengue, tapi juga genetik pasien. “Molekul target di endotel dan mediator kimia yang berperan dalam fenomena kebocoran plasma dapat digali lebih mendalam,” pungkasnya.
Dari akhir pidato pengukuhannya, Eggi menegaskan Infeksi dengue tidak dapat diselesaikan dengan satu cara saja. Berbagai upaya pencegahan dan penatalaksanaan harus diupayakan secara terintegrasi. Apabila semua cara ini dilakukan maka bisa menekan angka kematian anak akibat dengue. “Bersama-sama, mari kita capai target zero dengue death, mari kita ciptakan masa depan generasi mendatang yang lebih sehat,” harapnya.
Seperti diketahui, penyakit dengue di Indonesia pertama kali dilaporkan di Jakarta dan Surabaya tahun 1968. Hingga saat ini atau 57 tahun kemudian, kasus-kasus per 100.000 penduduk meningkat menjadi 92,06 per 100.000 di Indonesia (1960-1970an), angka kematian (case fatality rate, CFR) mencapai 20% dari yang terinfeksi, sedangkan data terakhir Kementrian Kesehatan RI menunjukkan CFR tahun 2024 di angka 0,61.
Penulis : Kezia Dwina Nathania
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Donnie