Demokrasi Indonesia sedang berada di puncak menjelang Pemilu 2024 mendatang. Masyarakat banyak menyorot dinamika politik dan calon politik, khususnya kampanye capres cawapres. Selain substansi dari janji-janji kampanye yang banyak diperbincangkan, publik juga membahas sikap, perilaku, dan gerak-gerik aktor politik ini. Sentimen ini menimbulkan isu tentang budaya malu dalam etika demokrasi Indonesia. UGM pun mengangkat topik ini dalam serial diskusi Pemikiran Bulaksumur #28 bertema “Budaya Malu: Etika Moral Demokrasi?” pada Kamis (30/11).
Kampus UGM merupakan salah satu kampus yang menjunjung tinggi nilai dan budaya luhur bangsa, termasuk budaya malu. Segala kebaikan tutur kata, perbuatan, dan etika penting untuk diterapkan di manapun, terlebih dalam dunia politik. Sebagai pejabat, tentunya masyarakat akan melihat sosok pemimpin seperti apa yang berhak memegang roda demokrasi bangsa. “UGM sebagai universitas ini berkomitmen untuk mengembalikan substansi demokrasi, bukan demokrasi prosedural. Saya kira kampus harus mengembalikan demokrasi ini. Karena dengan cara itulah cita-cita proklamasi membangun masyarakat sejahtera dan bermartabat akan tercapai,” tutur Dekan Fakultas Filsafat, Dr. RR. Sri Murtiningsih M. Hum.
Etika seringkali dianggap tidak memiliki keterikatan pada individu atau masyarakat karena tidak memiliki dasar yang kuat. Berbeda dengan hukum yang jelas disandarkan pada Undang-Undang Dasar. Oleh karenanya, etika sering dianggap tidak bisa dijadikan acuan terhadap perbuatan seseorang. “Sering salah dipahami oleh umum, etika karena bukan norma positif sebagaimana hukum dianggap tidak memiliki dasar mengikat yang kuat. Karena ketika diajarkan dengan hukum, etika seringkali dalam prakteknya boleh dipertanyakan apakah betul demikian. Sedangkan hukum tanpa moralitas, hukum akan menjadi penindasan dan kesewenang-wenangan. Unsur moralitas inilah yang dapat dijadikan tolak ukur apakah hukum harus dipatuhi atau tidak. Pertanyaannya, moralitas siapa yang bisa dijadikan landasan hukum,” ucap Sri.
Budaya malu dalam masyarakat demokrasi tentu berbeda dengan karakter masyarakat lainnya. Manusia sejatinya dilahirkan dalam keadaan bebas, namun akan terikat oleh di mana dia tinggal. Budaya malu tumbuh sebagai bagian dari unsur kepercayaan masyarakat. Dan setiap masyarakat memiliki budaya malu yang berbeda-beda. Perbedaan ini tidak terbatas pada negara saja, namun antar suku, ras, agama, dan kelompok masyarakat lainnya. Era digital yang membawa begitu banyak pertukaran informasi telah membuka jalan untuk budaya tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Hal ini berakibat pada hilangnya rasa malu karena formalisasi budaya, hukum, dan norma.
Sri menambahkan, rasa bersalah dianggap sebagai kompas yang paling cocok dengan karakter masyarakat demokrasi Indonesia. Seseorang akan cenderung merasa malu hanya jika terbukti kesalahannya. Perilaku individu dalam budaya bersalah tidak dibatasi oleh ekspektasi kolektif masyarakat, namun dideterminasi oleh panggilan hati nurani. Saat ini, masyarakat memiliki kontrol yang kuat terhadap budaya malu. Contohnya, ketika pejabat, tokoh, politisi, terlihat menunjukkan perilaku tidak beretika atau bermoral, masyarakat berbondong-bondong memberikan ujaran kebencian terhadap perilaku tersebut.
“Ketika unggah ungguh dianggap sebagai basa basi, sikap merendah tidak identik dengan kerendahan posisi, kemampuan merendah bisa menjadi kompetensi formal yang akhirnya berubah menjadi arogansi. Lalu formalisasi hukum atau norma itu juga bisa membuat orang merasa malu. Hukum yang hanya menyandarkan pada bukti formal, tidak pada rasa keadilan dan etika membuat seseorang tidak merasa malu,” tutur Prof. Dr. Faruk Tripoli, S.U. selaku Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UGM. Ia mencontohkan banyaknya politisi yang seolah tidak memiliki rasa malu sebelum benar-benar terbukti kesalahannya oleh hukum. Pengakuan akan kesalahan hanya disandarkan pada hukum prosedural, tidak pada etika dan norma yang ada.
Penerapan budaya malu di ranah politisi dan tokoh ini patut dikritik untuk membenahi kembali tatanan etika demokrasi Indonesia. Lemahnya kontrol publik terhadap penguasa dan bebalnya penguasa menjadikan budaya malu mulai hilang. Padahal, sebagai pemangku kekuasaan, pemimpin harus bisa memberikan contoh yang baik bagi masyarakatnya.
Penulis: Tasya