![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2025/02/bendera-amerika.jpg)
Terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat membawa dampak signifikan terhadap hubungan diplomatik dengan Indonesia. Kebijakan America First dan slogan Make America Great Again kembali menjadi landasan utama kebijakan luar negeri AS, yang secara langsung berpengaruh pada berbagai sektor kerja sama antara kedua negara.
Pakar Ilmu Hubungan Internasional UGM, Prof. Poppy Sulistyaning Winanti, mengatakan kebijakan luar negeri Trump cenderung mengutamakan kepentingan nasional AS di atas kerja sama multilateral. Keputusan ini memicu kekhawatiran bagi Indonesia yang selama ini aktif dalam isu lingkungan global. “Trump kembali menarik AS dari berbagai perjanjian internasional, termasuk Perjanjian Paris tentang perubahan iklim, yang sempat direstorasi oleh Joe Biden pada 2021,” jelasnya, Selasa (11/2).
Di bidang perdagangan, Trump kembali menerapkan kebijakan proteksionis dengan meningkatkan tarif impor dan meninjau ulang fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) bagi Indonesia. Bahkan ancaman penghapusan fasilitas GSP sempat menimbulkan ketegangan, meskipun pada akhirnya fasilitas tersebut tetap diberikan setelah negosiasi yang berlangsung cukup lama. Meski hubungan dagang tetap terjalin, pendekatan unilateral Trump membuat Indonesia harus lebih berhati-hati dalam menjaga keseimbangan ekonomi dengan AS.
Sementara itu, dalam sektor pertahanan, kerja sama militer antara Indonesia dan AS tetap berjalan melalui program seperti Garuda Shield. Namun, kebijakan luar negeri Trump yang keras terhadap Tiongkok semakin meningkatkan ketegangan di kawasan Laut Cina Selatan. Kendati Indonesia bukan negara pengklaim dalam sengketa Laut Cina Selatan, tetapi memiliki kepentingan langsung dalam menjaga kedaulatan perairan Natuna. “Meningkatnya kehadiran militer AS di kawasan Asia-Pasifik, Indonesia harus semakin cermat dalam menjaga keseimbangan hubungan dengan dua kekuatan besar, AS dan Tiongkok,” paparnya.
Selain itu, perubahan kebijakan AS di bawah Trump juga berdampak pada program pembangunan di Indonesia, terutama setelah pembatasan peran USAID. Sebelumnya, USAID berperan penting dalam mendukung berbagai proyek pembangunan di Indonesia, mulai dari pemberdayaan masyarakat hingga penguatan pelayanan kesehatan. “Adanya kebijakan baru Trump, beberapa program USAID mengalami pembatasan,” ungkap Poppy.
Menghadapi dinamika ini, kata Poppy, pemerintah Indonesia harus mulai mengambil langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan pada AS. Salah satu langkah signifikan adalah bergabung dengan BRICS, sebuah entitas ekonomi yang mencerminkan kekuatan Dunia Selatan. “Masuknya Indonesia ke dalam BRICS dapat dilihat sebagai upaya untuk memperluas daya tawar Indonesia di tengah ketidakpastian kebijakan AS,” jelasnya.
Poppy juga menyarankan agar Indonesia juga berupaya mendiversifikasi sumber pendanaan internasional untuk proyek-proyek lingkungan, termasuk melalui New Development Bank (NDB).
Sementara dalam bidang pertahanan, menurutnya perlu memperkuat kerja sama dengan negara lain seperti Jepang dan India untuk memastikan stabilitas keamanan tanpa terlalu bergantung pada AS. “Diversifikasi mitra strategis menjadi langkah kunci bagi Indonesia untuk mempertahankan otonomi dan stabilitas di tengah perubahan geopolitik yang semakin kompleks,” tegas Poppy.
Bagi Poppy, kebijakan luar negeri AS di bawah Trump telah menciptakan tantangan baru bagi hubungan bilateral Indonesia-AS. Namun, melalui pendekatan diplomasi yang bebas dan aktif, Indonesia berusaha menjaga keseimbangan antara mempertahankan hubungan baik dengan AS dan memperkuat kemitraan dengan negara-negara lain.
Penulis : Rahma Khoirunnisa
Editor : Gusti Grehenson