Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada sekaligus anggota Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) RI., Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H., M.Hum., dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hukum, Kamis (14/12), usai menyampaikan pidato pengukuhan yang berjudul Perencanaan Legislasi yang Paradigmatik dalam Mewujudkan Visi Indonesia 2045.
Dalam pidatonya, Enny mengatakan berbagai persoalan yang muncul dalam merencanakan legislasi membutuhkan langkah strategis untuk mengatasinya sehingga visi Indonesia dapat direalisasikan secara bertahap. Sebab, dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi visi bangsa Indonesia 2005-2025 dalam RPJPN yang bertolak pada kondisi riil, tantangan dan kalkulasi modalitas yang dimiliki bangsa, yakni Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur.
Dalam visi tersebut, kata Enny, salah satu indikator capaian pembangunan hukum yang dilaksanakan melalui pembaruan materi hukum adalah dengan tetap memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku dan pengaruh globalisasi sebagai upaya untuk meningkatkan kepastian dan perlindungan hukum, penegakan hukum dan HAM, kesadaran hukum, serta pelayanan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, ketertiban dan kesejahteraan sehingga penyelenggaraan negara makin tertib, teratur, dan berdaya saing global.
Pada UU No 12 Tahun 2011 dan perubahannya telah menentukan sedari awal adanya asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Namun, dasar yang mengikat untuk menggunakan metode yang jelas dan terukur dalam proses pembentukan baru ditentukan dalam UU no 13 tahun 2022. Namun demikian, pada UU tersebut tidak terdapat norma pasal melainkan dalam lampiran menghendaki setiap UU adanya penyusunan naskah akademik. “Naskah akademik yang disusun tersebut harus terlebih dahulu diawali dengan adanya perencanaan legislasi yang esensinya memuat kajian mengenai latar belakang dan tujuan penyusunan suatu undang-undang, sasaran yang ingin diwujudkan serta jangkauan dan arah pengaturan dari UU tersebut,” katanya.
Mandat dari UU No 13 tahun 2022 disebutkan sejak awal proses penyusunan UU sudah harus ditentukan metode yang akan digunakan. Tampaknya, tidak mudah bagi pembentuk UU untuk membiasakan menggunakan metode pembuatan naskah akademik yang erat kaitannya dengan metode riset. “Oleh karena itu, sebaiknya perguruan tinggi dapat berkontribusi menjadi centre of good regulatory practices,” ujarnya.
Langkah selanjutnya yang perlu segera dilakukan menurut Enny adalah menyelenggarakan proses pemantauan dan peninjauan yang berbasis analisis dan evaluasi dengan pedoman yang pasti, baku dan standar sehingga dapat digunakan hingga di tingkat daerah. “Proses tersebut tidak hanya monopoli pemerintah tetapi juga harus dilakukan oleh DPR dan DPD sesuai amanat UU No 13 Tahun 2022,” ungkapnya.
Dengan mekanisme ini, maka produk hukum yang merupakan amanat reformasi atau produk hukum masa kolonial dapat dituntaskan pembentukan atau pembaharuannya. Salah satu cara penuntasan tersebut dengan menggunakan metode Omnibus, tetapi difokuskan penggunaannya pada isu-isu sejenis sehingga pola pengklasterannya mudah untuk dipahami dan dilaksanakan.
“Untuk itu perlu dikaji kembali pengaturan metode tersebut secara komprehensif sehingga secara teknis substansial dapat dengan mudah diterapkan,” paparnya.
Sekalipun UU No 13 Tahun 2011 dan perubahannya tidak menentukan batasan waktu proses penyelesaian suatu RUU hingga disetujui bersama DPR tetapi dengan efektifnya pelaksanaan pemantauan dan peninjauan dapat turut membantu proses percepatan pembahasan RUU terutama terhadap RUU yang telah dibahas oleh DPR periode sebelumnya untuk dilanjutkan prosesnya seperti UU KUHP. Sebab, jika proses UU dimulai dari awal lagi karena pergantian anggota DPR akan kembali berakhir dengan ketidakpastian. “Karenanya perencanaan legislasi tidak harus memperhatikan banyak jumlah RUU tetapi pada kualitas produk legislasi yang dihasilkan sesuai dengan prioritas arah pembangunan hukum sehingga dapat menjadi fundamen berkelanjutan yang mengikat semua pihak untuk mewujudkan visi Indonesia 2045 yang diharapkan,”katanya.
Rektor Universitas Gadjah Mada, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Sp.OG(K), Ph.D., dalam pidato sambutannya mengatakan Prof. Enny Nurbaningsih merupakan salah satu dari 465 guru besar aktif di UGM dan di tingkat fakultas, Prof Enny merupakan salah satu dari 34 Guru Besar aktif di Fakultas Hukum UGM. “Sekali lagi selamat kepada Prof Enny Nurbaningsih, setelah menunggu delapan tahun akhirnya tiba juga mendengar pidato pengukuhan yang sangat luar biasa,” kata Rektor. Seperti diketahui, Surat Keputusan (SK) Penetapan dalam jabatan fungsional Guru Besar Enny Nurbaningsih sudah diperoleh sejak tanggal 25 Mei 2015.
Dalam upacara pengukuhan Guru Besar, Enny Nurbaningsih dihadiri para pejabat dan tamu undangan, diantaranya Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI, Suhartoyo, dan jajaran anggota Hakim Mahkamah Konstitusi lainnya, Ketua Majelis Wali Amanat UGM sekaligus Mensesneg RI, Prof Pratikno, Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin, Hakim Agung Mahkamah Agung, Jufriadi, Ketua Kamar Perdata Mahkamah Agung RI, I Gusti Agung Sumanatha, Wakil Ketua MPR RI, Arsul Sani, Wakil Ketua Komisi Yudisial, Siti Nurjanah, Koordinator staf khusus Presiden RI, Ari Dwipayana, dan Kajati DIY, Ponco Hartanto.
Penulis : Gusti Grehenson
Foto : Firsto