Pernahkah Anda melihat konten berisi orang yang berjoget sesuai nominal gift? atau konten orang mandi lumpur sambil bilang “Terima kasih orang baik”. Konten semacam ini bertebaran di medsos, bahkan sampai diperbincangkan di media luar. Menurut riset yang dilakukan oleh Tim Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Riset Sosial Humaniora (RSH) Cyber Begging dari Universitas Gadjah Mada, alasan terbanyak mengapa banyak orang memberikan gift kepada pengemis online adalah karena pemberi gift peduli dan ikut merasakan apa yang dirasakan dan mempertimbangkan kesejahteraan pengemis online. “Mereka juga mengalami perasaan tidak nyaman saat menyaksikan pengalaman negatif dari pengemis online. Alhasil, mereka memiliki keinginan untuk meringankan beban fisik atau psikologis pengemis online,” kata Ketua Tim PKM RSH Cyber Begging UGM, Safa Nur’aini Yunisa Wijayanti, kepada wartawan, Kamis (16/11) di Kampus UGM.
Meski tidak ada yang salah dari perilaku tolong-menolong, namun dampak dari hadiah yang diberikan tidak sepenuhnya meringankan masalah para pengemis online. Tim PKM RSH Cyber Begging menemukan adanya pola perilaku berupa keterpaksaan, mencari keuntungan, dan pengulangan yang terjadi antara pengemis online dan pemberi gift. “Artinya, dengan memberikan gift kita belum tentu membantu pihak yang kita kasihani. Di sisi lain, kita malah menciptakan sebuah siklus kemiskinan yang akan semakin sulit untuk diputus. Oleh karena itu, yuk, kita harus bijak bersosial media. Perbuatan yang kita pikir baik, ternyata belum tentu baik juga untuk orang lain,” katanya.
Menurut Safa, timnya juga menemukan adanya dampak bumerang dari perilaku tolong menolong di medsos yang digadang-gadang menjadi sesuatu yang selalu bernilai positif ternyata dampak yang diberikan justru sebaliknya, mendorong pengemis dan pemberi gift melakukan hal yang sama secara berulang. “Dalam konteks mengemis online, perilaku tolong menolong ini tidak selamanya baik, perilaku ini malah dapat memberikan stimulus kepada pengemis online untuk melakukan hal yang sama secara terus-menerus,” ujar Safa.
Safa menjelaskan bahwa melalui penelitian yang telah dilakukan, Tim PKM RSH Cyber Begging menemukan adanya pola perilaku berupa keterpaksaan, mencari keuntungan, dan pengulangan yang terjadi antara pengemis online dan pemberi gift. “Apabila terus dibiarkan, pola-pola ini akan menyebabkan banyak dampak negatif, salah satunya adalah munculnya siklus kemiskinan. Oleh karena itu, perilaku tolong menolong terhadap pengemis online ini harus segera dicari solusi dan jalan keluarnya,” ujar Safa.
Saat ini, Tim Cyber Begging yang dibimbing oleh Ibu Dr. Aprilia Firmonasari, M.Hum.,D.E.A. dengan anggota Safa Nur’aini Yunisa Wijayanti, Carissa Andis Wiyatno Putri, Aqilurrachman Abdul Charitz, Dyahayu Sekar Anggraini, dan R. A. Haru Veda Gautama telah menyusun policy brief yang akan diusulkan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kominfo) dan Kementerian Sosial Republik Indonesia (Kemensos). Menurutnya Safa, masukan policy brief yang mereka tawarkan diharapkan bisa memberikan pertimbangan mengenai kebijakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan maraknya pengemis online di medsos belakangan ini.
Penulis : Gusti Grehenson