
Indonesia merupakan salah satu negara pengimpor pakan hijauan ternak alfalfa (Medicago sativa L.). Berdasarkan data dari Kemneterian Pertanian RI, tahun 2023 mencapai 20, 6 juta ton dengan nilai impor mencapai lebh dari Rp142 miliar. Masih tingginya ketergantungan impor alfalfa ini menjadi tantangan serius bagi sektor peternakan dalam negeri. Beberapa perusahaan industri ternak perah ternyata setidaknya setiap bulan membutuhkan sebayak 300 ton pakan alfalfa dalam bentuk hay atau pakan yang sudah diawetkan.
Guru besar Fakultas Peternakan (Fapet) UGM, Prof. Ir. Bambang Suwignyo, S.Pt., MP., Ph.D., IPM., ASEAN Eng menyatakan tingginya ketergantuan impor pakan alfalfa bagi ternak sapi perah perlu dikurangi dengan mengembangkan budidaya tanaman Alfalfa tropik dapat menjadi alternatif pakan hijauan berkualitas tinggi yang proyeksi jangka panjangnya dapat menggantikan sebagian kebutuhan impor alfalfa. “Produksi alfalfa tropik bisa menjadi solusi mengurangi ketergantungan impor,” ujarnya, Senin 17/3).
Program ini merupakan kerja sama antara UGM dengan Pemkan Kulonprogo berhasil membuat demplot alfalfa seluas 1 hektar. Disebutnya, alfalfa dapat tumbuh dengan baik dengan produksi segar berkisar antara 10 – 18 ton/ha. Bahkan varietas alfalfa tropik yang telah diakui sebagai plasma nutfah Indonesia dengan nama Kacang Ratu BW. “Kita berhasil melakukan budidaya Alfalfa Tropik ini,” katanya.
Tidak hanya budidaya, dari sisi keunggulan dari pakan ini menurut bambang mampu meningkatkan kadar protein pakan pada peternak rata-rata 10% -15%, sehingga bisa berdampak langsung pada peningkatan produktivitas ternak dan produksi susu. “Tanaman Alfalfa Tropik tidak hanya layak dibudidayakan di Indonesia, tetapi juga mampu memenuhi kebutuhan pakan ternak secara mandiri,”jelasnya.
Menurutnya, budidaya hijauan alfalfa tropik ini menjadi langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan impor alfalfa sekaligus meningkatkan ketahanan pangan nasional. Setelah kita ujicoba ada ternak kambing etawa, setelah dilakukan evaluasi selama 4 bulan menunjukkan adanya peningkatan produksi susu sekitar 20 persen serta bobot kambing yang meningkat hingga 15 persen. “Biaya pakan juga berkurang hingga 30 persen berkat pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan alternatif,” terangnya.
Program pengabdian kepada masyarakat yang mengintegrasikan manajemen pakan dan sistem pertanian terpadu untuk menciptakan rantai produksi yang berkelanjutan. Salah satu fokus utamanya adalah penggunaan pakan hijauan unggul, yaitu Alfalfa Tropik (Kacang Ratu BW), yang diharapkan dalam jangka panjang mampu mengurangi ketergantungan pada impor alfalfa. ”Kita ingin meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peternak dalam mengelola Kambing PE, khususnya manajemen pakan dan produksi susu”, terangnya.
Reportase : Satria/Humas Fakultas Peternakan
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Freepik.com