
Kasus Kekerasan seksual yang dilakukan oleh dokter residen Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung pada pasien dengan cara disuntik obat bius, seharusnya bisa dicegah apabila pengawasan pelayanan pasien dan tata kelola obat berjalan dengan baik. Agar kasus serupa tak terulang, harus dilakukan evaluasi dan perbaikan secara menyeluruh serta meminta para tenaga kesehatan menjaga integritas dan profesionalisme serta menghindari berbagai bentuk kekerasan.
Pemerhati Perilaku Kesehatan, Lingkungan dan Kedokteran Sosial dari FK-KMK UGM, Prof. Dra. Yayi Suryo Prabandari, M.Si., Ph.D mengatakan bahwa tantangan terbesar memang seorang tenaga kesehatan berasal dari dalam dirinya sendiri. Profesi dokter sendiri mengharuskan melakukan pendekatan yang baik dengan pasien agar mampu mewujudkan integritas dan profesionalismenya yang tinggi. Namun begitu, seorang dokter tidak boleh memanfaatkan kesempatan tersebut untuk hal-hal yang tidak baik apalagi melakukan kekerasan seksual. “Dosen, pendidik klinis, koas, residen dan personel klinis yang ada di RS harus saling menghormati satu sama lain, mengutamakan keselamatan pasien, menegakkan integritas, tidak hanya menghindari kekerasan seksual, namun juga kekerasan verbal dan fisik,” kata yayi Suryo, Senin (24/4).
Menurut Yayi, untuk mencegah dan menghindari perilaku tenaga kesehatan yang menyimpang dari tugasnya memberikan pelayanan kesehatan ke masyarakat diperlukan perubahan struktur kurikulum pendidikan yang terorganisir, artinya sistem organisasi kurikulumnya pendidikan baik. Sehingga apa yang harus dipelajari dan harus dievaluasi dapat dilakukan dengan baik dan yang paling penting juga perlunya koordinasi antara program studi dengan rumah sakit.
Selain itu, dalam pendidikan kedokteran, juga perlu memasukkan role model sebagai panutan baik dari kalangan dosen maupun alumni. “Jadi diperlukan dosen-dosen maupun alumni yang sudah selesai itu bisa menunjukkan menjadi tokoh panutan yang baik. Jadi memberikan contoh yang baik,”katanya.
Yayi menyebutkan di Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) UGM telah menerapkan Health Promoting University HPU yang salah satunya Zero Tolerance untuk Bullying Harassment dan Violence. Bahkan FKKMK sejak a tahun 2019 menyusun Panduan Pendidikan Klinik Bermartabat yang ditujukan pada Civitas Akademika dan Hospitalia FK KMK dan RS Pendidikan serta jejaringnya.
Seperti diketahui, belum ada data nasional yang mencatat prevalensi pelecehan seksual oleh tenaga medis di Indonesia. General Medical Council (GMC) di Inggris tahun 2019 menyatakan bahwa dari sekitar 160 ribu dokter terdaftar, hanya 0,2% yang mendapatkan sanksi etik karena pelanggaran seksual dalam lima tahun terakhir. Lalu di Amerika Serikat, menurut survei National Sexual Violence Resource Center (NSVRC), tenaga medis menyumbang sekitar 3%-5% dari total pelaku pelecehan seksual di tempat publik dalam periode 10 tahun. Di Indonesia, meski data angkanya tidak disebutkan secara spesifik, pelecehan seksual diakui sebagai bagian dari perundungan yang masih sering terjadi akibat budaya hierarki dan minimnya sistem pelaporan yang efektif.
Penulis : Kezia Dwina Nathania
Editor : Gusti Grehenson
Foto : sejawat.co