
SPBU Swasta di tahun 2025 telah diberikan kuota impor sebesar 110 persen lebih besar dibandingkan 2024. Sayang, kondisi kuota 110 persen yang diberikan tersebut telah habis sebelum 2025 selesai. Atas persoalan tersebut, pemerintah pun lantas memutuskan (impor) agar tetap bisa melayani tetapi melalui kolaborasi dengan Pertamina.
Sebelumnya, Kementerian ESDM juga telah menawarkan kepada pihak swasta membeli stok BBM Pertamina, tetapi opsi inipun tidak berjalan karena stok BBM Pertamina yang bisa dibeli swasta bukan dalam bentuk base fuel atau BBM mentah tanpa campuran zat adiktif.
Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, MBA., Ph.D menanggapi persoalan ini. Ia menilai Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia seolah secara by design menciptakan kelangkaan di SPBU Swasta dengan mengubah aturan periode impor dari satu tahun menjadi 6 bulan, dan ini tentu saja berakibat kelangkaan di SPBU Swasta. “Setelah krisis kelangkaan ini, Menteri ESDM Bahlil memaksa SPBU Swasta untuk membeli BBM dari Pertamina,” ujarnya di Kampus UGM, Selasa (23/9).
Dengan situasi ini, dalam pandangan Fahmy Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia dinilai menciptakan monopoli Pertamina dan hanya berkepentingan untuk memenuhi kecukupan volume impor BBM dari USA. Hal ini sesuai dengan kesepakatan tarif ekspor Indonesia dari 32 persen menjadi 19 persen. “Pembelian BBM di Pertamina ini pasti jauh lebih mahal yang menyebabkan biaya operasional SPBU swasta meningkat dan menurunkan margin,” terangnya.
Jika kondisi ini terus berkelanjutan, menurut Fahmy, bisa-bisa menyebabkan SPBU Swasta bangkrut. Bahkan tidak sedikit dari mereka bisa hengkang dari Indonesia. “Dampak yang dirasakan tentu ada PHK dan menjadikan iklim investasi memburuk. Situasi ini tentu akan menghambat target pertumbuhan ekonomi yang diharapkan Presiden Prabowo sebesar 8 persen, dan itu mustahil tercapai,” imbuhnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Freepik