
Mahkamah Konstitusi (MK) RI baru saja mengeluarkan putusan penting terkait uji materi Undang-Undang Kementerian yang mempertegas larangan bagi Wakil Menteri (Wamen) merangkap jabatan sebagai komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Putusan ini dinilai positif oleh Pakar Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Dr. Yance Arizona, dikarenakan dapat memperkuat prinsip profesionalitas dan mencegah potensi konflik kepentingan dalam tata kelola pemerintahan.
Menurut yance, selama ini sudah muncul perdebatan di dalam pemerintah terutama karena putusan-putusan MK sebelumnya dianggap oleh pemerintah tidak begitu jelas dan tidak eksplisit soal rangkap jabatan ini. Menurutnya, putusan ini merupakan langkah yang baik karena kemudian MK melalui putusan ini secara eksplisit mempertegas larangan bagi Wakil Menteri untuk rangkap jabatan menjadi Komisaris di BUMN.
Lebih lanjut, Yance mengatakan bahwa putusan ini memiliki sisi positif karena pesan dari MK dalam putusan ini adalah larangan itu diperlukan untuk dua hal. Pertama, untuk menghindari konflik kepentingan karena satu sisi sebagai regulator di pemerintahan tapi juga sebagai operator bagian dari perusahaan komisaris. “Peluang untuk menciptakan konflik kepentingan besar sekali, apalagi untuk Wakil Menteri yang menjadi komisaris BUMN yang mana adalah lingkup dari pekerjaan dari kementerian itu sendiri,” katanya, Selasa (9/9).
Kedua, dalam putusan ini MK juga berpesan bahwa larangan rangkap jabatan itu sebenarnya untuk membantu supaya terciptanya profesionalitas baik itu sebagai wakil menteri ataupun sebagai komisaris di BUMN. Dengan pemisahan peran, wakil menteri dapat menjadi lebih fokus terhadap tugas-tugas kementerian, sementara komisaris diisi oleh orang yang benar-benar berkonsentrasi pada pengelolaan BUMN. “Dari sisi hukum Tata Negara, hal ini juga akan menjadi hal yang positif dari sisi efektivitas pekerjaan kementerian,” jelasnya.
Namun demikian, putusan MK memberikan masa transisi atau grace period selama dua tahun agar ada penyesuaian. Menurut Yance, masa dua tahun tersebut seharusnya dibaca sebagai batas akhir, bukan toleransi bagi Wakil Menteri untuk tetap merangkap jabatan hingga periode itu habis. “Seharusnya segera setelah putusan MK keluar, para wakil menteri langsung mundur dari jabatan komisaris. Jika tidak, maka mereka harus memilih mundur sebagai wakil menteri. Dua tahun itu hanyalah batas akhir paling lambat mereka harus diselesaikan,” ujarnya.
Yance juga menanggapi dalih yang muncul di pemerintahan yang beranggapan bahwa menetapkan orang-orang pemerintahan di dalam BUMN adalah wujud dari perwakilan pemerintah di BUMN. Menurutnya, hal tersebut bisa saja dilakukan, tetapi harus melalui pejabat yang memang tidak dilarang undang-undang. “Sedangkan Menteri dan Wakil Menteri itu dilarang oleh peraturan perundang-undangan untuk menjadi komisaris, baik itu undang-undang kementerian maupun undang-undang BUMN sendiri,” jelas Yance.
Meski demikian, Yance meyakini akan masih ada saja wakil menteri yang memanfaat kesempatan rangkap jabatan sebagai komisaris BUMN selama grace period 2 tahun yang diberikan MK. Oleh karena itu perlu ketegasan dari Presiden Prabowo untuk memerintahkan seluruh wakil menteri mundur sebagai komisaris BUMN karena hal itu akan mencederai prinsip profesionalitas mereka sebagai pembantu presiden di pemerintahan. Selain itu, Presiden juga bisa memerintahkan Menteri BUMN untuk segera mencopot posisi wakil menteri sebagai komisaris BUMN. Sebab, komitmen Presiden untuk membangun kabinet yang profesional sedang diuji. “Kalau mereka wakil menteri tidak mau berhenti sebagai komisaris, maka pilihannya adalah mundur dari jabatan wakil menteri dan mempertahankan posisinya sebagai komisaris,” tegasnya.
Penulis : Lintang Andwyna
Editor : Gusti Grehenson
Foto : samudrafakta