
Sejak tahun 2014, Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) telah diberlakukan di Indonesia. Jaminan sosial nasional ini merupakan salah satu tanggung jawab negara dalam memberikan perlindungan sosial ekonomi kepada masyarakatnya. Namun dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya, perlindungan sosial di Indonesia tidak lebih baik daripada negara lain yang serumpun. Bahkan, di antara negara-negara lain di dunia, Indonesia masih tergolong rendah dalam upaya memberikan perlindungan sosial.
Hal itu dikemukakan oleh Ippei Tsuruga, selaku Social Protection Programme Manager at International Labour Organization (ILO) for Indonesia dalam Seminar “Just Transition & Climate Change: The Role of Social Protection and Impacts on Workers” di FEB UGM pada 19-20 Maret lalu
Ippei menyebutkan bahwa manfaat bantuan sosial untuk anak-anak dan pekerja di Indonesia sebesar 25,4% dan kecelakaan kerja sebesar 22,8%. Bahkan, penyandang disabilitas hanya mendapatkan manfaat sebesar 2,5%, sedangkan masyarakat lanjut usia hanya menerima sebesar 14,8%. “Indonesia menjadi negara ketiga terbawah dalam penyediaan perlindungan sosial bagi masyarakat lanjut usia,” katanya.
Selanjutnya, Ippei membandingkan program perlindungan sosial di Indonesia dengan negara asalnya, Jepang. Di Jepang, pekerja yang baru diputus kontrak atau pengangguran mendapatkan tunjangan selama 3 tahun. Selain tunjangan, pekerja juga mendapatkan pelatihan dan lowongan pekerjaan. Setelah mendapatkan pekerjaan kembali, pekerja masih mendapatkan tunjangan berupa reemployment allowance. Jumlah tunjangan yang diterima bervariasi sesuai usia dan tahun bekerja. “Ini sebabnya angka pekerja di Jepang bisa mencapai 80,9%. Employment rate masyarakat lanjut usia juga masih tinggi, yaitu di atas 50% untuk usia 65-69 tahun,” ujar Ippei.
Ippei menilai pelaksanaan jaminan sosial di Indonesia yang diselenggarakan oleh PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dalam bentuk jaminan sosial bagi pekerja, yaitu Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKm), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), dan Jaminan Pensiun (JP). Sayangnya, hanya pekerja formal saja yang mendapatkan secara otomatis mendapatkan perlindungan ini. “Perusahaan sektor informal memiliki regulasi yang berbeda. Perusahaan tidak mendaftarkan pekerjanya untuk mendapatkan jamsos, tetapi mereka (pekerja) harus mendaftarkan dirinya sendiri,” ujar Ippei.
Dosen Ilmu Ekonomi dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Qisha Quarina, S.E., M.Sc., Ph.D., menuturkan dari hasil penelitiannya terkait jaminan sosial bagi pekerja tambang batubara. Ia mencatat ada sekitar 336.000 orang bekerja di bawah sektor batubara. Sebagian besar dari pekerja tersebut merupakan pekerja formal yang menjadikannya mendapatkan jaminan perlindungan sosial dari negara.
Qisha menggarisbawahi bahwa meskipun banyak pekerja yang merupakan pekerja formal, mereka terikat pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Umumnya, PKWT digunakan untuk mengikat karyawan kontrak dan karyawan lepas (freelance). Banyak pekerja PKWT yang telah memenuhi kontrak 3 tahun akan dilepas atau dipromosikan sebagai pegawai tetap di bawah kontrak Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Menurut Qisha, skema seperti ini merugikan pekerja dan membuat mereka rentan terdampak PHK sepihak. “Banyak pekerja masih rentan terhadap gangguan ketenagakerjaan, terutama di tengah transisi energi dan perubahan permintaan tenaga kerja di sektor tersebut,” pungkas Qisha.
Penulis : Tiefany
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Donnie