Peneliti Kegunungapian dari FMIPA Universitas Gadjah Mada, Dr. Wiwit Suryanto, dan Akademisi dari Universitas Udayana, I Nyoman Sukma Arida, turut bergabung dengan Tim Komunitas Relawan Lereng Gunung Agung, Bali, melakukan kunjungan ke Provinsi Yamanashi di Jepang pada 10-20 Juni lalu. Salah satu agenda dalam kunjungan tersebut adalah mengikuti Workshop yang diselenggarakan oleh Mount Fuji Research Institute (MFRI) di lereng Gunung Fuji yang berlangsung pada 14 Juni 2023 lalu. Selain mengikuti workshop, kata Wiwit, tim relawan dari Gunung Agung Bali juga berkesempatan melakukan kunjungan ke stasiun 5 pendakian Gunung Fuji untuk mempelajari gunung Fuji secara detail dan pengelolaan wisata pendakian gunung Fuji. Di sela kunjungan tersebut, para relawan dan peneliti kegunungapian juga berkesempatan mengunjungi Kantor Japan Meteorological Agency (JMA) di Tokyo.
Dr. Wiwit Suryanto selaku Leader Projek Astungkara Gunung Agung Aman (AGAA) mengatakan kunjungan ke lereng Gunung Fuji ini dalam rangka ajang bertukar pengalaman dan informasi antar kedua negara dalam penanganan erupsi dan mitigasi bencana gunung api.
Menurut Wiwit, dari pertemuan dengan para peneliti dan akademisi dan relawan Gunung Agung Bali disepakati pentingnya kedua negara dalam penguatan mitigasi dan edukasi vulkanologi kepada masyarakat. “Seringkali karena ketidakpahaman warga terkait tingkat kerawanan wilayahnya sehingga memunculkan kepanikan pada saat kejadian erupsi,” kata Wiwit dalam rilisnya yang dikirim ke wartawan, Senin (26/6).
Belajar dari pengalaman di Indonesia, katanya, saat terjadi gempa bumi dan sekaligus erupsi Merapi tahun 2006 di Jogja secara simultan, warga di bagian selatan lari ke arah utara karena mengkhawatirkan kejadian tsunami seperti di Aceh tahun 2004. Sementara warga di sebelah utara di lereng gunung merapi berlari ke arah selatan dan menimbulkan kesimpangsiuran informasi. “Demikian juga saat erupsi Agung, wisatawan banyak yang kembali ke negaranya, padahal berada pada daerah wisata yang sebenarnya masih aman untuk ditinggali karena ada pada radius aman,” ungkap doktor lulusan Jerman tersebut.
Dalam workshop kegunungapian tersebut, Project Manager Mount Fuji Research Institute (MFRI) Jepang, Dr. Mitsuhiro Yoshimoto, mengharapkan agar kegiatan ini bisa menjadi ajang saling belajar antara masyarakat Yamanashi, Jepang dengan Kabupaten Karangasem dalam melakukan mitigasi bencana erupsi. “Masyarakat sekitar Gunung Fuji harus belajar banyak kepada masyarakat Karangasem karena masyarakat kami 300an tahun belum pernah mengalami peristiwa erupsi. Dr Yoshimoto juga menyampaikan bahwa sebelum workshop ini projek tersebut juga telah melakukan beberapa pelatihan dan workshop di dua sasaran beberapa sekolah SD di kecamatan Rendang dan warga desa Besakih.
Sementara Deputi Sistem dan Strategi BNPB, Dr Raditya Jati, menyampaikan bahwa kerja sama yang terjalin antara pemerintah dan warga di sekitar Gunung Fuji dan Gunung Agung Bali memiliki arti strategis dalam upaya saling belajar mitigasi erupsi gunung api di kedua negara. Menurutnya, letusan Gunung Agung pada tahun 2017 lalu memang tidak sedahsyat letusan tahun 1963, namun keberhasilan penanganan dampak letusan terhadap warga terdampak dapat tertangani dengan baik. “Semua ini berkat penggunaan teknologi dan kesigapan masyarakat di sekitar lereng Agung yang bahu-membahu membantu para pengungsi,” ujarnya.
Ia menyebutkan, pengungsi gunung api di Bali dan Indonesia pada umumnya memiliki karakter yang unik, yakni para kepala keluarga berada di pengungsian hanya pada malam hari, sementara siangnya mereka kembali ke desanya untuk memberikan makan ternak-ternak mereka.
Namun, belajar dalam pengalaman penanganan dampak erupsi tahun 2017, menurutnya pelurusan informasi yang benar soal kesimpangsiuran informasi dan hoax yang beredar di masyarakat perlu ditangani secara baik lagi, sebab saat itu pesan yang banyak beredar bahwa gunung Agung akan erupsi dengan skala besar. “Berita hoax ini menyebar bahkan hingga ke tingkat global sehingga menyebabkan turunnya kedatangan wisatawan ke Bali. Demikian juga wisatawan yang akan datang ke Bali perlu diberikan pemahaman bahwa pada saat sebelum erupsi tidak semua wilayah masuk dalam zona bahaya sehingga sebetulnya masih aman untuk dikunjungi,” katanya.
Sementara I Nyoman Sukma Arida mengatakan pelaku pariwisata sebagai medium penyampaian pesan-pesan mitigasi. Ia mengemukakan bahwa di kawasan lereng Agung penting untuk memperkuat pengembangan destinasi wisata yang memberikan wawasan kegunungapian dan mitigasi kepada warga lokal dan wisatawan.
Penulis : Gusti Grehenson