Tragedi Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945 silam memicu perdebatan antar negara terkait penggunaan senjata nuklir. Penggunaan nuklir dalam peperangan tidak hanya mampu menghilangkan ribuan nyawa penduduk, namun juga efek samping terhadap lingkungan dan masyarakat yang masih bisa dirasakan setelah bertahun-tahun. Menjawab masalah ini, Traktat Pelarangan Senjata Nuklir (Treaty on the Prohibition on Nuclear Weapons/TPNW) dibentuk pada 7 Juli 2017 untuk mengatur pengembangan, kepemilikan, hingga penggunaan nuklir bagi negara anggotanya.
“Kalau kita perhatikan sejarah politik luar negeri Indonesia, pelucutan nuklir adalah salah satu agenda penting. Ada sisi lain dari pelucutan senjata nuklir ini yang mungkin akan mendorong kenapa kita perlu meratifikasi, yaitu penggunaan nuklir untuk tujuan damai. TPNW ini muncul karena persoalan bagaimana nuklir diasosiasikan dengan penggunaan senjata dan tidak memenuhi potensi di luar itu,” tutur Dosen Departemen Hubungan Internasional UGM, Drs. Muhadi Sugiono, MA,. dalam diskusi bertajuk “Ratifikasi Traktat Pelarangan Senjata Nuklir dan Diplomasi Nuklir” oleh Institute of International Studies dan Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM pada Selasa (12/12) lalu.
Indonesia sendiri secara aktif telah mendukung upaya-upaya pelucutan senjata nuklir melalui Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT) bersama negara lainnya, seperti Uni Soviet, Prancis, Brazil, bahkan Cina. Alasan di balik besarnya dukungan terhadap NPT menurut Muhadi adalah karena NPT mampu mengakomodasi kepentingan setiap negara, baik negara yang tidak memiliki senjata nuklir dan yang telah menjadi pemilik senjata nuklir selama bertahun-tahun. Setiap lima tahun sekali, NPT mengadakan evaluasi untuk membuktikan apakah komitmen negara-negara, khususnya pemilik senjata nuklir ini benar-benar dilakukan. Sayangnya, komitmen tersebut tidak dapat dibuktikan pada tahun 2015 dan berujung hilangnya kepercayaan terhadap traktat NPT.
Berkurangnya efektivitas NPT ini memunculkan inisiatif untuk membuat aturan yang bisa memaksa negara-negara untuk menghapuskan senjata nuklirnya, yaitu TPNW. Traktat baru ini dihadirkan bukan untuk menggantikan posisi traktat NPT, melainkan justru memperkuat pasal-pasal NPT. Hal ini dikarenakan traktat TPNW secara khusus melarang negara-negara pemilik senjata nuklir untuk menggunakan nuklir, dan membuat nuklir menjadi ilegal, di mana pasal ini tidak dicantumkan dalam NPT. Menurut laporan Kementerian Luar Negeri, TPNW kini telah ditandatangani oleh 93 negara, dan diratifikasi oleh 69 negara. Indonesia sendiri termasuk ke dalam 50 negara pertama yang menandatangani TPNW.
“Persoalannya tidak berhenti di situ. Negara-negara pemilik senjata nuklir bukan hanya menentang TPNW, karena dianggap tidak relevan, tetap justru dianggap sangat mengganggu NPT. Bagi mereka, NPT itu mengakui priviledge mereka sebagai memilikii senjata nuklir. Sedangkan di TPNW, semua negara yang memiliki senjata nuklir itu kepemilikan yang ilegal. Bukan karena memiliki status legal atau tidak, tapi karena senjata nuklir itu ilegal. Jadi tidak bisa diterima,” ujar Muhadi. Meskipun perdebatan posisi TPNW dan NPT terus bergulir, negara-negara aliansi pemilik senjata nuklir yang tidak menandatangani NPT justru terlihat memberikan dukungan pada TPNW.
Urgensi untuk meratifikasi dan mengimplementasikan traktat TPNW juga dijelaskan oleh Haryono Budi Santosa, Dosen Departemen Teknik Nuklir UGM. Secara garis besar, nuklir memiliki tiga isu yang penting. Pertama adalah safety, di mana nuklir dimaknai sebagai potensi energi yang juga memiliki potensi bencana. Aspek safety berhubungan erat dengan keamanan dalam mengelola nuklir itu sendiri supaya aman dan tidak berbahaya bagi masyarakat. Kedua, adalah security, yaitu penggunaan nuklir sebagai senjata dengan sengaja untuk alasan keamanan negara. Poin inilah yang menjadi akar dari segala permasalahan terkait senjata nuklir.
“Inilah akar dari pohon yang disebut Nucleur Pro-liferation Treaty (NPT). Jadi ketika bom nuklir berhasil diuji coba. Pertanyaannya satu. Kalau seluruh dunia bisa membuat, apa jadinya peradaban? Jadi kemungkinan perselisihan dikit, nuklir bekerja. Artinya kan kita mempercepat sebuah kiamat. Itulah alasan kemudian muncul upaya pengendalian nuklir, bahkan dari segi materialnya,” ujar Haryono.
Penulis: Tasya