
Belakangan ini media sosial diramaikan dengan banyaknya Gen Z ikut membeli obat cacing setelah muncul kasus kecacingan pada balita di Sukabumi, Jawa Barat. Fenomena ini memunculkan kekhawatiran di masyarakat, padahal konsumsi obat cacing tanpa indikasi medis berisiko bagi kesehatan.
Prof. dr. E. Elsa Herdiana Murhandarwati, M.Kes., Ph.D., Ketua Departemen Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM dalam podcast TropmedTalk yang digelar Pusat Kedokteran Tropis UGM, Selasa (16/7), mengungkapkan bahwa kecacingan sendiri masih menjadi persoalan serius di Indonesia dengan prevalensi sekitar 35 persen. “Artinya dari 100 orang, ada 35 yang kena,” ungkapnya.
Kasus di Sukabumi juga memicu tren mengonsumsi obat cacing secara mandiri. Tren ini dikenal dengan istilah fear of missing out (FOMO) dan membuat sebagian masyarakat merasa aman hanya dengan meminum obat. Elsa menambahkan bahwa penggunaan obat cacing tanpa indikasi medis yang jelas dapat menimbulkan masalah baru. Kondisi ini dapat mengganggu keseimbangan flora usus, memicu resistensi, serta menciptakan rasa aman semu. Menurutnya, langkah pencegahan tetap harus mengutamakan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) serta perbaikan sanitasi. “Orang mungkin merasa sudah terlindungi hanya dengan minum obat, padahal faktor kebersihan dan sanitasi jauh lebih penting,” terangnya.
Elsa menegaskan bahwa konsumsi obat cacing tetap memiliki peran penting dalam program Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) yang dijalankan pemerintah. Program ini menyasar anak-anak usia sekolah dengan pemberian obat rutin satu hingga dua kali setahun sesuai tingkat kasus di masing-masing wilayah. Upaya ini dirancang untuk memutus rantai penularan di kelompok paling rentan. “Reinfeksi bisa terus terjadi kalau lingkungan dibiarkan tercemar,” imbuhnya.
Selain anak-anak, orang dewasa juga memiliki risiko yang sama apabila tidak menerapkan kebiasaan hidup sehat. Aktivitas sederhana seperti makan tanpa mencuci tangan, mengonsumsi makanan yang kurang bersih, atau makan bahan mentah yang terkontaminasi, bisa menjadi pintu masuk infeksi. Hal ini menunjukkan bahwa kecacingan tidak terbatas pada kelompok usia tertentu. “Kecacingan bisa menyerang siapa saja, bukan hanya anak-anak. Jadi perilaku hidup bersih dan sehat itu penting untuk semua usia,” ujarnya.
Lebih lanjut, dampak infeksi cacing tidak bisa dianggap sepele karena dapat mengganggu kesehatan secara serius. Menurut Elsa, infeksi berat dapat menyebabkan sakit perut, diare, bahkan keluarnya cacing dari mulut penderita. Dalam kondisi tertentu, komplikasi yang lebih berat seperti sumbatan usus dan sepsis juga dapat terjadi. “Cacing bisa menurunkan nafsu makan anak dan menghambat pertumbuhan,” tutur Elsa.
Selain menyebabkan gangguan kesehatan akut, kecacingan juga berkontribusi terhadap masalah gizi buruk dan stunting. Cacing menyerap nutrisi dari tubuh inang dan mengganggu proses penyerapan makanan di usus. Akibatnya, anak-anak yang terinfeksi tidak dapat tumbuh secara optimal. “Kondisi ini dapat berujung pada gizi buruk yang kronis dan berimplikasi pada kualitas hidup jangka panjang,” tambahnya.
Karena itu, edukasi masyarakat mengenai bahaya kecacingan dan cara pencegahannya sangat penting dilakukan. Upaya kolektif menjadi kunci, mulai dari penerapan kebersihan individu hingga menjaga lingkungan sekitar agar tidak menjadi sumber penularan. Langkah sederhana seperti mencuci tangan, memakai alas kaki, menggunakan jamban yang layak, dan mengelola sampah secara benar perlu digalakkan secara berkelanjutan. “Kecacingan adalah masalah komunitas, bukan hanya individu. Upaya pencegahannya harus kolektif, dimulai dari rumah hingga lingkungan,” pungkas Elsa.
Penulis : Triya Andriyani
Foto. : Pusat Kedokteran Tropis UGM