Mudik lebaran adalah momen yang dinantikan masyarakat Indonesia untuk kembali ke kampung halaman atau bersilaturahmi dengan keluarga. Namun, tingginya permintaan transportasi selama periode ini kerap menyebabkan lonjakan harga tiket, sehingga menjadi tantangan besar bagi masyarakat. Apalagi harga tiket pesawat domestik dianggap justru lebih mahal ketimbang dengan harga tiket untuk penerbangan internasional.
Peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik (PUSTRAL) Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Dewanti, menyatakan persoalan harga tiket pesawat domestik yang lebih mahal dari tujuan penerbangan internasional tersebut, pemerintah sebaiknya terus menerapkan berbagai inovasi kebijakan untuk memastikan harga tiket tetap terjangkau tanpa mengorbankan kualitas layanan. “Pemerintah memberikan subsidi transportasi, yang tidak hanya berlaku saat Lebaran, tetapi juga di luar musim puncak untuk mendukung wilayah terpencil atau daerah yang termasuk kategori 3TP (Terpencil, Terdepan, Tertinggal, dan Perbatasan),” ujar Dr. Dewanti, Kamis (16/1).
Selain subsidi, katanya, pemerintah juga menerapkan pengaturan tarif untuk menjaga harga tiket tetap wajar meskipun terjadi peningkatan permintaan. Kebijakan tarif batas atas dan bawah juga diterapkan dalam rangka untuk melindungi konsumen dari praktik spekulasi harga yang tidak adil. “Dengan adanya tarif batas atas dan bawah, lonjakan harga yang sering terjadi saat mudik bisa dikendalikan, sehingga masyarakat tetap bisa mengakses transportasi dengan biaya yang masuk akal,” tambahnya.
Tidak hanya itu, program mudik gratis yang didukung pemerintah daerah dan sektor swasta menjadi salah satu langkah efektif dalam meringankan beban masyarakat sekaligus mengurangi kepadatan kendaraan pribadi di jalan raya. Akan tetapi, upaya ini bukan tanpa tantangan. Dewanti menyoroti bahwa salah satu hambatan utama adalah memastikan penurunan harga tiket namun tidak mengurangi kualitas layanan yang diberikan oleh para operator transportasi. “Penurunan harga tiket harus dilakukan dengan hati-hati agar aspek kenyamanan, keamanan, dan keselamatan tetap menjadi prioritas,” jelasnya.
Dewanti mengakui kepentingan finansial operator swasta yang tidak selalu sejalan dengan kebijakan pemerintah menjadi tantangan tersendiri. Pasalnya, fluktuasi biaya operasional seperti harga bahan bakar dan perawatan juga mempengaruhi kemampuan swasta dalam mendukung kebijakan tarif rendah. Oleh karena itu, pemerintah mestinya belajar dari pengalaman sebelumnya untuk merancang strategi yang lebih matang. Data pola perjalanan dan permintaan transportasi dari tahun-tahun sebelumnya bisa menjadi dasar untuk memprediksi kebutuhan layanan selama musim mudik Lebaran. Langkah-langkah seperti monitoring sarana-prasarana transportasi, memastikan ketersediaan bahan bakar, dan penyebaran informasi luas tentang program mudik terus diperkuat. “Kolaborasi dengan sektor swasta sangat penting, tetapi tingkat keberhasilannya berbeda-beda karena kemampuan finansial operator swasta yang beragam,” ungkap Dr. Dewanti. Subsidi, promosi, dan pengawasan yang ketat menjadi alat utama pemerintah untuk menjaga harga tiket tetap terjangkau tanpa mengorbankan kualitas layanan.
Dewanti optimis, melalui pendekatan kolaboratif dan kebijakan yang terus disesuaikan, pemerintah bisa menghadirkan layanan transportasi yang aman, nyaman, dan terjangkau bagi masyarakat. “Pada akhirnya, kebijakan ini dirancang untuk mendukung masyarakat menikmati perjalanan mudik dengan lebih baik,” tutup Dewanti.
Penulis : Rahma Khoirunnisa
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik