Persaingan global antar negara-negara maju dan berkembang di era ini semakin kompetitif. Setiap negara berusaha meluncurkan inovasi terbarukan untuk memimpin perekonomian dunia. Sebagai negara berkembang, Indonesia masih memiliki tugas berat untuk menyusul perkembangan tersebut. Isu ini pun dituangkan dalam “ASEAN Journal of CI-EL and Applied Philosophy” yang resmi dirilis oleh Fakultas Filsafat UGM pada Selasa (5/9).
CI-EL, atau Creativity, Innovation, Enterpreneurship, dan Leadership ini merupakan salah satu metode untuk meningkatkan daya saing wirausaha. Pemerintah telah mencanangkan target 4 juta wirausaha di tahun 2024 sebagai tulang punggung ekonomi Indonesia. Berbagai upaya pun dilakukan untuk memicu tumbuhnya bisnis berbasis UMKM. Sayangnya, daya saing dan ketahanan UMKM ini masih menjadi persoalan. “Kalau kita hanya peduli tentang industrialisasi, tapi tidak melakukan industrialisasi di taraf desa atau mikro, saya kira kita bisa gagal bersaing. Bicara tentang bisnis, kalau kita tidak bisa kreatif, tidak bisa inovatif, dan tidak menjadi pemimpin, maka kita tidak cukup cerdas untuk bersaing. Nah, CI-EL ini lah yang harus ditekankan agar bisnis itu peduli tentang kesejahteraan masyarakat dan lingkungan, tidak hanya bisnis itu sendiri,” papar Hermawan Kertajaya, selaku Founder dan Kepala Direksi MCorp.
Hermawan juga menekankan, konsep CI-EL akan tetap berdampingan dengan PI-PM (Productivity, Improvement, Professionalism dan Management) sebagai basis teknologi. Salah satu contohnya adalah perkembangan AI. Melihat banyaknya pro-kontra di mana AI dapat menggantikan kerja manusia, maka seharusnya manusia lah yang bisa memosisikan diri sebagai pengguna AI. Budaya kerja Indonesia saat ini masih berpaku pada posisi pekerja sebagai eksekutor, bukan inisiator. Padahal, perkembangan teknologi justru akan selalu berusaha menggantikan pekerja sebagai eksekutor.
“Inilah yang dibawa oleh konsep CI-EL. Jad,i kalau Anda adalah orang yang memiliki kemampuan luar biasa, namun hanya menjadi bagian kecil dari sebuah perusahaan tapi tidak inisiatif, maka perusahaan tersebut akan jatuh. Perusahaan yang bisa bertahan di era ini adalah, tidak hanya memiliki pemimpin yang kreatif, tapi juga siapapun yang bekerja di bawahnya harus memiliki inisiatif tinggi,” tambahnya.
Tantangan Indonesia dalam menghadapi persaingan bisnis dunia juga disampaikan oleh Dosen Fakultas Filsafat UGM, Prof. Dr. Lasiyo., M.A., M.M. “Untuk mencapai hasil maksimal dari sebuah bisnis, ada beberapa hal yang sering luput untuk diperhatikan, namun sebenarnya menjadi hambatan. Ketidaksetaraan, ketidakadilan, jaminan kerja, sampai penyalahgunaan kekuasaan ini paling banyak menghambat proses kreatif pekerja. Kalau kita berkaca dengan Cina, mereka memiliki budaya kerja berdasar pada lima pilar, yaitu kemanusiaan, keadilan, budaya santun, pengetahuan, dan integritas. Budaya ini membawa mereka untuk membentuk bisnis yang menekankan sikap dan jalinan hubungan untuk memperkuat bisnis,” ucap Lasiyo.
Tak hanya itu, Lasiyo juga menjelaskan bahwa basis utama ekonomi Cina berada di rumah tangga atau keluarga. Untuk memulai perubahan dan penerapan sikap integritas, Cina mengawali dengan unit-unit kecil, seperti keluarga. Hasilnya, penanaman budaya terjadi secara intim dan mengakar kuat hingga seseorang dewasa. Proses ini terjadi secara terus menerus hingga membentuk jiwa pekerja yang tidak hanya loyal dan berintegritas, namun juga berusaha membuat inovasi dengan berdaya saing tinggi.
ASEAN Journal of CI-EL and Applied Philosophy ini mencakup langkah-langkah potensial yang dapat diambil negara ASEAN untuk meningkatkan daya saing wirausaha global. Selain itu, jalinan kerja sama antar negara juga sangat penting untuk memberikan dukungan dan saling melengkapi. Harapannya, kolaborasi antara akademisi dan korporasi ini dapat memberikan sumbangsih sebagai basis penguatan wirausaha di tingkat nasional.
Penulis: Tasya