Pengelolaan sampah dapat disebut sebagai ‘pintu masuk’ dalam mencapai target pembangunan berkelanjutan karena sampah merupakan isu multisektor yang berdampak pada berbagai aspek di masyarakat dan juga ekonomi. Hal ini disampaikan oleh Prof. Chandra Wahyu Purnomo, dosen Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik UGM dalam sesi Sekolah Wartawan yang berlangsung di Ruang Fortakgama UGM, Rabu (29/5). Ia menyoroti tata kelola sampah di Jogja masih dalam tahap darurat karena penanganannya belum terselesaikan hingga kini.
“Meskipun peraturan tentang persampahan itu banyak sekali, mulai dari Undang-Undang sampai Peraturan Daerah, tapi untuk sistem pengolahan kita masih tertinggal dengan negara lain, terlebih di Jogja kita masih bertumpu dengan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Piyungan,” ujar Chandra.
Chandra mengungkapkan, kegagalan dalam membangun ekosistem pengelolaan sampah di Jogja dikarenakan tidak terbentuknya kesadaran masyarakat sebagai hulu dari permasalahan sampah. “Harusnya sampah sudah terpilah di hulu, mulai dari rumah tangga, kantor, pabrik atau industri, dan kampus, karena di hulu saja sudah tercampur, proses pengolahannya akan menjadi berat,” ungkapnya. Harapannya partisipasi publik untuk mengelola sampahnya sendiri mencapai 30%, sedangkan sisanya 70% ditangani oleh fasilitas-fasilitas yang ada di pemerintahan.
Dia menyebut persoalan sampah memang sangat kompleks. Pemanfaatan fasilitas yang disediakan oleh pemerintah seperti TPS3R dan Bank Sampah belum dioptimalkan oleh masyarakat karena 90% sampah di Jogja masih terbuang di TPA. “Dari 30 TPS3R yang ada di Sleman yang semuanya dibangun oleh Kementerian PUPR, hanya 10 saja yang beroperasi, sisanya mangkrak. Bayangkan kalau semua TPS3R di Sleman, Kota Jogja, dan Bantul diaktifkan, pastinya akan berdampak pada semakin cepatnya proses pemilahan sampah,” kata koordinator Indonesia Solid Waste Forum (ISWF) ini.
Riset independen yang dilakukan oleh Chandra di tahun 2021 terkait sampah di Kota Jogja menunjukkan volume sampah mencapai 300 ton per hari dan ditengarai jumlah tersebut tidak mengalami perubahan hingga sekarang, bahkan cenderung meningkat jumlahnya. “Statusnya sudah darurat, tapi masyarakat belum juga tumbuh kesadaran untuk minimal memilah sampah, jadinya malah muncul masalah baru seperti tiba-tiba ada titik baru yang dijadikan tempat pembuangan sampah ilegal,” ucapnya.
Chandra menyarankan penanganan sampah di hulu harus diperbaiki dan menjadi prioritas. “Kita harus terus mengedukasi masyarakat agar memiliki komitmen untuk memilah sampah, kalau perlu ada sanksi sosial seperti di negara maju,” tuturnya.
Selanjutnya yang tidak kalah penting setelah pemilahan, adalah penjadwalan pengumpulan dan pengangkutan dari sumber langsung ke unit pengolahan seperti TPS3R dan TPST, harus terinci dan sistematis agar tidak terjadi konflik kepentingan di dalamnya. “Pengelolaan sampah mandiri (PSM) juga harus diatur oleh Pemda/Pemdes sehingga bisa menghindari perselisihan dengan Bumdes, yang memang sekarang ada yang ditugaskan untuk mengelola sampah juga,” pesannya.
Teknologi pengelolaan sampah berbasis Refuse Derived Fuel (RDF) juga bisa diperhitungkan sebagai solusi untuk menghasilkan bahan bakar yang bisa digunakan untuk meminimalkan pengiriman sampah ke luar DIY, menurut Chandra.
Foto: Donnie
Penulis: Triya Andriyani