Lulusan perguruan tinggi sulit mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kompetensi yang mereka miliki sehingga menjadi perhatian seirus bagi pemerintah Prabowo-Gibran. Berdasarkan data laporan Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru, tingkat pengangguran per Februari 2025 mencapai 7,28 juta orang dengan tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 4,76%. Jumlah tersebut bertambah sebanyak 83.000 orang dibanding tahun sebelumnya. Jika dilihat berdasarkan jenjang pendidikan, lulusan sekolah menengah dan perguruan tinggi menempati peringkat teratas dalam jumlah pengangguran. Artinya, populasi angkatan kerja muda tidak terserap dengan baik oleh lapangan kerja yang tersedia.
Ekonom UGM, Wisnu Setiadi Nugroho, Ph.D., menilai kebijakan pemerintah untuk mengatasi persoalan ketenagakerjaan masih bersifat tambal sulam dan berorientasi jangka pendek. “Banyak kebijakan pemerintah saat ini cenderung tambal sulam dan short term. Sementara penyelesaian untuk jangka panjang tidak dipikirkan seperti vertical mismatch dan horizontal mismatch,” ucapnya di FEB UGM, Jum’at (24/10).
Wisnu Setiadi mengaku prihatin menghadapi banyaknya mahasiswa dan lulusan perguruan tinggi merasa kesulitan mencari pekerjaan. Bahkan kesempatan mendapat pekerjaan yang sesuai dengan kompetensi juga masih terbatas.“Di kampus-kampus muncul banyak keluhan susahnya mencari kerja,” katanya.
Selain itu, Wisnu berpendapat bahwa pemerintah juga belum memberi perhatian besar terhadap kesejahteraan jangka panjang untuk para tenaga kerja, terkait jaminan pensiun atau hari tua yang layak untuk para pekerja. “Belum ada kebijakan yang benar-benar searah untuk memastikan pekerja bisa hidup mapan di masa depan,” katanya.
Tidak hanya itu, Wisnu juga mengkritisi kebijakan pemerintah soal pemberian beasiswa LPDP yang dinilainya belum menyiapkan ekosistem yang mendukung para penerima beasiswa setelah lulus. “Tidak mengherankan bila sebagian besar dari mereka pada akhirnya tidak pulang ke Indonesia. Hal inipun kemudian menjadi isu-isu yang berseliweran mengapa kepada mereka diberikan beasiswa,” terangnya.
Sistem meritokrasi yang ada di dunia ketenagakerjaan sekarang ini diakui Wisnu tidak berjalan sebagaimana mestinya, sehingga membuat tidak sedikit anak muda yang telah berjuang keras dengan menempuh pendidikan tinggi, dan berupaya membangun kapasitas diri tersisih oleh sistem yang tidak adil. “Posisi dan kesempatan kadang terisi oleh orang-orang yang muncul secara tiba-tiba tanpa rekam jejak kontribusi yang jelas. Padahal, generasi Z tidak hanya mencari pekerjaan yang mapan, tetapi juga ruang untuk aktualisasi diri. Ketika kerja keras tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh, rasa kecewa dan kehilangan kepercayaan terhadap sistem pun tak terelakkan di kalangan generasi muda,” pungkasnya
Reportase : Kurnia Ekaptiningrum/ Humas FEB UGM
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Dokodemo-Kerja/ Dok.FEB UGM
