Hingga saat ini hewan ternak yang paling dominan penghasil susu adalah sapi perah, padahal selain sapi perah, ternak mamalia lainnya seperti kerbau, kambing dan kuda juga mampu menghasilkan susu meski proporsinya sangat kecil. Kebutuhan susu nasional diperhitungkan mencapai 4,4 juta ton atau 11 ton per hari. Sementara dari data BPS menunjukkan hasil produksi susu nasional baru mencapai 968.980 ton di tahun 2022 yang dihasilkan oleh 569,43 ribu ekor sapi. ”Kondisi tersebut menunjukkan produksi susu sapi perah belum dapat mencukupi kebutuhan susu nasional,” kata Dosen Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Prof. Ir. Yustina Yuni Suranindyah, MS., Ph.D, IPM., dalam pidato pengukuhan Guru Besar dirinya dalam bidang Ilmu Peternakan, Selasa (16/1), di Balai Senat, Gedung Pusat UGM.
Dalam pidato pengukuhan yang berjudul Peranan ruminansia kecil dalam penyediaan protein hewani di Indonesia: Tantangan dan Prospek, Yustina menuturkan kambing perah merupakan salah satu alternatif penghasil susu selain sapi perah. Sifat-sifat yang menguntungkan pada ternak kambing, di antara lain kemampuan beradaptasi pada wilayah geografis dan kondisi iklim yang sangat bervariasi, menjadikan ternak ini dapat dikembangkan di daerah yang tidak subur. “Ukuran tubuh yang kecil, cepat dewasa, waktu buntingnya pendek serta prolifik, menjadikan kambing cepat berkembang biak dan tidak membutuhkan modal yang besar,” jelasnya.
Ia menyebutkan, di seluruh dunia terdapat 570 bangsa kambing, 146 di antaranya terdapat di Asia dan 94% nya merupakan penghasil daging. Bangsa kambing perah di Asia terhitung sangat kecil dibandingkan dengan kambing pedaging. Hanya 13 bangsa yang teridentifikasi sebagai kambing perah murni di Asia dengan kemampuan produksi susu rendah sampai sedang. Meskipun demikian masih ada 15 bangsa kambing yang termasuk potentially improver breeds dan 13 dual purpose. Potentially Improver breed didefinisikan sebagai bangsa kambing yang potensial membentuk ras special dengan sifat genetik tertentu, memiliki penampilan produksi lebih dari rata-rata, dapat meningkatkan penampilannya, mampu beradaptasi pada lingkungan yang buruk.
Bangsa kambing yang paling dominan di Indonesia pada awalnya adalah kambing Kacang dan kambing Etawah. Kambing Kacang, merupakan ternak asli Indonesia, yang terdapat di pulau Jawa dan Sumatera, tetapi pendapat lain mengatakan kambing Kacang dibawa masuk oleh orang Hindu, kemudian beradaptasi dengan lingkungan setempat, dan dipelihara secara turun-temurun di wilayah Indonesia. Sedangkan, kambing Etawah berasal dari India, diimpor oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan tujuan menghasilkan susu bagi orang-orang Belanda di sekitar tahun 1925. Kambing Etawah masuk pertama kali di Pulau Jawa, dikembangbiakkan di daerah perbukitan Menoreh sebelah barat Yogyakarta dan di Kaligesing, Purworejo.
Seiring dengan perjalanan waktu terjadi perkawinan silang antara Etawah dengan kambing lokal yang menghasilkan kambing Peranakan Etawah (PE). Di sebagian daerah, susu kambing sudah dikenal sejak lama, salah satunya dengan memanfaatkan kambing hasil persilangan yaitu Peranakan Etawah. ”Etawah merupakan kambing penghasil susu terbaik di daerah tropis,” katanya.
Dari aspek genetik, kambing PE memiliki potensi tinggi sebagai penghasil susu. Pada peternakan yang bertujuan utama menghasilkan susu komersial, produksi susu mencapai 0,96 sampai 1,34 liter per hari, selama 5 sampai 7 bulan. Pada sistem ini pengelolaan kambing PE diarahkan sebagai ternak perah, dengan memaksimumkan produksi susu seluruh masa laktasi untuk kebutuhan susu komersial. ”Dalam hal ini peternak mengatur waktu penyapihan dan pemenuhan nutrien untuk pertumbuhan anaknya,” jelasnya.
Upaya memaksimumkan produksi susu pada kambing dual purpose dapat dilakukan dengan manajemen laktasi, penyapihan, pemanfaatan susu pengganti, suplementasi pakan pada induk laktasi, dan memperpanjang masa laktasi. Untuk meningkatkan produksi susu juga dapat dilakukan dengan memperpanjang masa laktasi. Pada kambing PE, masa laktasi dapat diperpanjang sampai lebih dari 1 tahun, dengan cara menunda perkawinan setelah beranak. ”Peternak dapat memanfaatkan kambing laktasi yang sudah tua sebagai penghasil susu dengan pemberian nutrisi yang cukup untuk memperpanjang masa laktasinya, sedangkan induk kambing yang masih muda digunakan untuk tujuan breeding,” ujarnya.
Menurut Yustina, produksi susu kambing cukup berkembang pesat saat ini. Mayoritas susu segar diolah menjadi susu bubuk kering. Sentra pengolahan susu tumbuh di beberapa daerah pengembangan kambing perah. Meski skala usaha peternakan bervariasi dari peternakan kecil yang bergabung dalam kelompok, peternakan mandiri skala kecil, menengah dan besar dengan jumlah kepemilikan lebih dari 100 ekor. Bahkan di beberapa tempat harga susu kambing lebih mahal dari susu sapi. Situasi ini yang mungkin memberikan harapan para investor.
Dengan laju pertambahan penduduk yang disertai meningkatnya daya beli dan minat konsumsi pada susu kambing menjadi harapan yang besar untuk menjadikan produksi susu kambing sebagai tumpuan pendapatan peternak. Oleh karena itu, ternak ruminansia kecil terutama kambing perah, memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan di Indonesia. Namun peternak kecil perlu dukungan dengan diperkuat melalui kelembagaan sehingga mampu mengatasi keterbatasan penyediaan bibit. Demikian juga dalam penyediaan pakan, kontrol kesehatan dan pendampingan penerapan Good Dairy Farming Practice (GDFP), standar kualitas susu dan penentuan harga susu maupun ternak. ”Perkembangan ini memerlukan dukungan yang kuat dan pendampingan dari pemerintah termasuk perguruan tinggi dan melembaga agar produktivitas meningkat dan dapat meyakinkan konsumen dengan standar kualitas yang benar,”pungkasnya.
Penulis : Gusti Grehenson
Foto : Donnie Tristan