
Terhitung sudah sepuluh tahun sejak Undang-Undang (UU) Desa ditetapkan dan jumlah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) terus mengalami peningkatan. Setidaknya pada tahun 2023 lalu, tercatat sebanyak 58.065 unit BUMDes aktif beroperasi di seluruh Indonesia. Namun dari jumlah tersebut belum berpengaruh signifikan terhadap perekonomian desa.
Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM, Prof. Dr. Bambang Hudayana, M.A. menyebutkan keberadaan BUMDes inilah seharusnya bisa memacu desa untuk mandiri dan mampu memiliki pendapatan asli desa. Pendapatan inilah yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk mempercepat kesejahteraan masyarakat. “BUMDes dibentuk sesuai amanah UU Desa. Semangat UU ini adalah memberikan desa otonomi untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri sehingga menjadi responsif dan dekat dengan masyarakatnya,” terang Bambang, Kamis (26/2).
Dari pengamatan Bambang, desa memiliki tingkat pendapatan rata-rata cukup rendah yang kemudian berpengaruh terhadap pelayanan publik dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Sementara dana desa yang juga sama-sama produk dari UU Desa tidak cukup untuk memacu kemandirian desa. “Desa juga harus bisa demokratis sehingga penghasilannya fokus untuk diinvestasikan bagi kemajuan desa, bukan untuk birokrasi atau memperkaya peranti desa,” tegasnya.
Bambang menilai, BUMDes dapat dikembangkan dari berbagai sektor sesuai dengan keperluan masyarakat. BUMDes tidak sekadar mengelola bisnis semata, tetapi harus bisnis yang berdampak positif ke masyarakat. Dosen Antropologi di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM ini mencontohkan BUMDes dapat membuat program pendirian pasar. “Membuat pasar bukan berarti meniadakan pedagang, tetapi justru membuka kesempatan bagi pedagang memiliki tempat usaha yang luas, nyaman, baik, dan murah sehingga dapat mengendalikan biaya bagi konsumen. Dengan demikian, desa punya pendapatan dari penyewaan lapak dan pedagang punya penghasilan dari hasil berjualan,” jelas Bambang.
Ia mencontohkan BUMD Karangrejek, Gunungkidul, Yogyakarta yang berhasil menyediakan air minum secara swadaya bagi masyarakat. Masyarakat dapat mengakses penuh air bersih selama 24 jam dan dapat dimanfaatkan bagi berbagai keperluan lainnya. Hal ini membuat masyarakat tidak lagi perlu khawatir kelangkaan air bersih, utamanya pada musim kemarau.
Bambang mengakui ada beberapa kisah BUMDes yang sukses mengembangkan unit usahanya, namun tidak sedikit yang masih juga terdapat beberapa terkendala dalam pengembangannya. Salah satu penyebabnya adalah proses ekonomi politik yang membuat uang BUMDes ini diambil oleh elit desa atau pengelola daripada uangnya diinvestasikan untuk kemajuan. “Ini kalau tidak ada partisipasi atau masyarakatnya tidak dilibatkan, maka BUMDes tidak bisa menguatkan ekonomi desa. Yang dikejar bukan masalah profit, tetapi kebermanfaatan,” tambahnya.
Diakui Bambang wasyarakat juga bisa menjadi resisten dengan keberadaan BUMDes, utamanya jika mereka merasa BUMDes menjadi kompetitor. Padahal, menurut Bambang, hal-hal ini perlu diluruskan. Begitu juga dengan masyarakat yang merasa tidak diikutsertakan atau tidak diberikan ruang partisipasi dalam kegiatan BUMDes. “Resistensi ini bukanlah sebuah masalah atau menjadikan BUMDes jelek, tetapi menegaskan ini menjadi peran bagi pengelola agar dapat menghadirkan keterlibatan bagi masyarakat,” tukasnya.
Selain itu, Bambang menyoroti bahwa BUMDes perlu melakukan transparansi dalam kegiatan-kegiatannya sehingga masyarakat paham kondisi yang terjadi di lapangan. Pengoptimalisasian BUMDes memang masih akan menjadi pekerjaan rumah bagi semua pemangku kebijakan, tetapi dengan beberapa BUMDes yang sudah mulai menunjukkan kebermanfaatannya, Bambang berharap BUMDes dapat terus dikembangkan.
Menurutnya, partisipasi perguruan tinggi dan lembaga riset untuk memberikan inspirasi, keteladanan, dan pendampingan bagi BUMDes. Dari aspek ekonomi digital, universitas dapat mengajarkan masyarakat untuk berniaga ke luar daerah. Bisa juga pelatihan permodalan dan rencana bisnis. Bahkan dari aspek sosial bisa mengajak perempuan untuk mandiri secara ekonomi. “Perguruan tinggi bisa berperan langsung dengan turun di masyarakat seperti yang sudah dilakukan baik oleh Direktorat Pengabdian kepada Masyarakat maupun mahasiswa-mahasiswa UGM yang turun melalui program Kuliah Kerja Nyata-Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN-PPM),” tutupnya.
Penulis : Lazuardi
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik