
Kasus alergi pada anak terus meningkat di Indonesia, sehingga diperlukan penanganan dan diagnosis yang tepat agar tidak berdampak buruk pada tumbuh kembang anak. Data World Allergy Organization (WAO) menunjukkan, prevalensi alergi di dunia mencapai 10-40 persen dari populasi. Sementara di Indonesia data IDAI mencatat, sekitar 0,5–7,5 persen anak Indonesia mengalami alergi.
Dokter Spesialis Anak UGM, dr. Cahya Dewi Satria, M.Kes, SpA, Subsp. AI, mengatakan alergi merupakan penyakit bawaan yang dapat diturunkan dari orang tua, saudara kandung, atau dari kakek-nenek. Alergi muncul karena sistem kekebalan tubuh memiliki sensitivitas yang berlebihan terhadap protein tertentu yang bagi individu lain tidak berbahaya. “Ketika tubuh sudah membentuk antibodi spesifik terhadap suatu protein, maka pada paparan berikutnya dapat muncul reaksi alergi,” jelasnya, Selasa (30/9).
Lebih lanjut, Cahya menerangkan tentang Allergic March atau alergi pada anak di fase atau usia tertentu. Pada usia muda, alergi sering terlihat dalam bentuk eksim atau dermatitis atopik berupa ruam pada kulit. Lalu memasuki usia 6 bulan hingga 2 tahun, anak lebih rentan mengidap alergi makanan, sementara di usia 7-10 tahun risiko rinitis alergi, atau alergi pada hirupan lebih dominan. “Kondisi ini menunjukkan bahwa alergi dapat berkembang dari satu bentuk ke bentuk yang lain,” katanya.
Cahya menekankan pentingnya membedakan gejala normal dengan gejala alergi. Sebagai contoh, alergi umumnya bersifat berulang dan tidak disertai demam, sehingga berbeda dengan infeksi. “Untuk menentukan apakah suatu gejala merupakan alergi, kita harus melihat riwayat keluarga, kronis atau tidak gejala tersebut, serta memastikan tidak ada infeksi,” ujarnya.
Makanan tertentu seperti susu sapi, telur, kacang-kacangan, dan makanan laut sering menjadi pemicu alergi pada anak karena kandungan proteinnya. Ia menambahkan, mekanisme alergi adalah sensitisasi, yakni proses awal ketika sistem imun pertama kali mengenali suatu zat alergen sebagai hal yang “berbahaya”, kemudian saat ada paparan ulang, tubuh baru akan bereaksi berlebihan. Sementara itu, desensitisasi merupakan pembiasaan yang dapat membantu membangun toleransi tubuh terhadap alergen. “Untuk melakukan desensitisasi harus sangat berhati-hati dan harus dilakukan dengan protokol ketat di bawah pengawasan dokter,” tegasnya.
Terkait alergi pada kulit, ia sempat menyebutkan tentang hygiene hypothesis, yakni hipotesis bahwa anak yang tumbuh di lingkungan terlalu bersih bisa jadi lebih rentan alergi. Sebaliknya, anak yang hidup di lingkungan dengan paparan mikroorganisme yang beragam cenderung memiliki sistem imun lebih kuat. Selain itu, pada anak dengan gangguan barier kulit, pelembab menjadi kunci perawatan agar alergen tidak mudah masuk melalui kulit. “Hal-hal yang membuat kulit semakin kering, seperti antiseptik, sebaiknya dihindari. Gunakan sabun khusus dan pelembab untuk menjaga kelembaban kulit,” ujarnya.
Tantangan terbesar dalam penanganan alergi anak di Indonesia, yakni meningkatnya kasus yang dipengaruhi faktor lingkungan dan gaya hidup. Di sisi lain, meski kesadaran masyarakat mulai tumbuh, masih banyak orang tua yang salah memahami gejala hingga berujung pada pantangan makanan yang berlebihan. Padahal, pembatasan diet tanpa dasar medis justru dapat mengganggu tumbuh kembang anak.
Sebagai langkah pencegahan, ia sangat menganjurkan pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pertama. Sementara itu, paparan asap rokok sejak masa kehamilan hingga anak beranjak besar dapat meningkatkan risiko alergi, sehingga ia mutlak menganjurkan agar anak dihindarkan dari paparan asap rokok.
Sebagai informasi tambahan, formula susu kedelai tidak bermanfaat untuk pencegahan penyakit alergi pada anak. Berdasarkan informasi tersebut, pencegahan alergi membutuhkan pendekatan yang komprehensif, yakni mulai dari edukasi kepada orang tua. Selain itu, orang tua juga dihimbau untuk tidak berspekulasi secara mandiri dalam mendiagnosis gejala. “Akan lebih baik jika penanganan timbulnya gejala pada anak diserahkan pada dokter spesialis kompeten agar diagnosis tepat dan dapat mengurangi dampak alergi pada generasi mendatang,” pungkasnya.
Penulis : Ika Agustine
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik