
Kasus keracunan massal yang menimpa sejumlah siswa setelah mengonsumsi makanan dari program MBG baru-baru ini menjadi sorotan publik. Program MBG sejatinya memiliki tujuan mulia untuk meningkatkan status gizi masyarakat, khususnya siswa, melalui pemberian makanan bergizi secara gratis. Namun, aspek keamanan pangan tidak boleh diabaikan dalam pelaksanaannya. “Kalau makanannya tidak aman, maka tidak boleh disajikan,” kata Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG) UGM, Prof. Sri Raharjo, Jumat (16/5).
Dosen Fakultas Teknologi Pertanian UGM mengatakan keracunan makanan bisa disebabkan oleh dua hal, yakni food intoxication atau keracunan akibat racun yang dihasilkan oleh bakteri dan food infection atau infeksi akibat mengkonsumsi bakteri patogen. Keduanya kerap terjadi tanpa tanda-tanda yang terlihat. “Makanan bisa tampak dan terasa normal saat dikonsumsi, tetapi efeknya baru muncul beberapa jam atau bahkan keesokan harinya,” ujarnya.
Menurut Raharjo, salah satu tantangan besar dalam program seperti MBG adalah skala produksinya yang sangat besar apalagi menyediakan ribuan paket makanan membutuhkan manajemen ketat dalam setiap tahap mulai dari pemilihan bahan baku, penyimpanan, hingga proses pemasakan. “Kalau 3.000 paket makanan harus disiapkan, itu bukan urusan dapur rumah tangga lagi. Harus ada fasilitas, alat, dan orang yang kompeten,” ujarnya.
Adapun keracunan makanan yang ditimbulkan berasal dari kesalahan atau kelalaian dari pengelola menu seperti bahan mentah yang tidak disimpan dengan benar, daging yang tidak dimasak merata, atau peralatan yang tidak higienis. Misalnya, daging yang tampak matang di luar belum tentu telah mencapai suhu 75°C di bagian dalam suhu minimal yang diperlukan untuk membunuh bakteri patogen. Bahkan bisa terjadi dari pemilihan bahan baku pun mengandung risiko. “Daging dari pasar tradisional, misalnya, kerap tidak dibersihkan dengan baik setelah proses pemotongan sehingga rentan terkontaminasi oleh kotoran atau isi usus hewan,” ungkapnya.
Solusi yang ditawarkan Raharjo mencakup tiga hal penting, yakni kesadaran, kapasitas, dan kontrol. Semua pihak baik penyedia, pelaksana, hingga pengawas menurutnya harus memahami risiko dan menerapkan standar keamanan pangan secara disiplin. Mulai dari penggunaan lemari es yang memadai, alat masak berkapasitas besar, hingga prosedur memasak yang memastikan setiap bagian makanan benar-benar matang. “Kalau tidak tuntas panasnya, bakteri masih bisa hidup dan itu bisa menyebabkan sakit,” tegasnya.
Ia juga menekankan bahwa memasak dalam skala besar memerlukan waktu yang lama, dan lamanya waktu ini menjadi salah satu faktor kunci terjadi atau tidaknya kontaminasi. Walaupun bahan makanan sudah terjamin aman, makanan tetap bisa terkontaminasi selama proses pengolahan jika tidak ditangani dengan benar.
Sri Raharjo menyarankan agar jumlah produksi makanan dalam program MBG dikurangi. Ia memberikan contoh melalui sekolah-sekolah yang telah menyediakan makan siang sebelum program MBG. “Beberapa sekolah kan sudah ada yang menjalankan program semacam ini, skalanya lebih kecil karena hanya untuk satu sekolah saja. Jadi, pemerintah bisa bekerja sama dengan sekolah sehingga sekolah-sekolah itu kemudian bertanggung jawab dengan makanan siswanya masing-masing.” ujarnya.
Selain itu, ia menilai program ini menurutku terlalu terburu-buru mengingat Badan Gizi Nasional menargetkan peningkatan jumlah penerima MBG hingga 82,9 juta orang di tahun ini. “Saya menyebutnya too much, too soon. Harusnya sekarang fokus pada skala kecil dulu, dibenahi, setelah itu baru pelan-pelan sekolah lainnya mulai dapat bagian,” tuturnya.
Dengan memperhatikan standar keamanan pangan dan skala produksi yang sesuai, program MBG diharapkan dapat mencapai tujuannya tanpa mengorbankan kesehatan siswa. Kolaborasi lintas sektor dan evaluasi berkelanjutan menjadi kunci agar insiden serupa tidak terulang di masa mendatang.
Penulis : Rahma Khoirunnisa
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Antara