Isu “Dinasti Politik” makin terlihat pada keanggotaan parlemen terbaru. Komposisi anggota DPR-RI Periode 2024-2029 disinyalir terdiri dari banyak anggota yang berasal dari kerabat dan keluarga. Sejumlah pakar menyebutkan fenomena ini semakin melemahkan proses demokrasi di Indonesia.
Pakar Politik dan Demokrasi dari Fisipol UGM, Arga Pribadi Imawan, M.A. menyebutkan adanya dinasti politik DPR ini bisa berdampak buruk bagi proses demokrasi selanjutnya. “Saya kira ini salah satu konsekuensi dari anggota partai politik yang berasal dari elitis, atau dari orang-orang di lingkaran kekuasaan,” ucap Arga, Senin (14/10).
Menurutnya, partai besar sekalipun sejauh ini juga didominasi oleh orang-orang dari lingkup politik, bukan dari masyarakat luas. Bahkan jabatan strategis dengan mudah didapatkan dari hubungan keluarga dan kerabat. Dampaknya, semakin sulit bagi individu dari kalangan masyarakat biasa untuk ikut andil dalam politik. Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mencatat terdapat 79 dari 580 anggota parlemen memiliki kekerabatan dengan pejabat lainnya. Jumlah tersebut belum termasuk penelusuran lebih dalam seperti riwayat pekerjaan, proyek yang sama, ataupun kekerabatan jauh.
Arga menjelaskan, setidaknya ada tiga hal yang mempengaruhi nasib seseorang dalam kontestasi pemilu, yakni modal sosial, modal politik, dan modal ekonomi. Modal sosial berarti bagaimana seseorang dengan pola jejaring kekerabatan berimplikasi terhadap naiknya popularitas di masyarakat. Misalnya, seseorang yang sudah lebih dulu dikenal sebagai public figure tentu lebih mudah dikenali dan menggaet suara masyarakat, begitupun dengan keluarga dan kerabatnya.
Kemudian modal politik, sangat bergantung pada kebutuhan dari partai pengusung. Misalnya, seseorang dengan pengaruh politik kuat biasanya akan lebih dulu diusung oleh partai. “Jadi bagaimana partai mengusung orang-orang yang bisa menggerakkan mesin politik secara efektif,” tambah Arga.
Ketiga tentunya memiliki modal ekonomi. Apalagi selama ini proses kampanye para calon anggota legislatif identik dengan berbagai macam cara untuk mengenalkan diri ke masyarakat. “Tentu upaya ini membutuhkan modal ekonomi yang besar, tidak hanya dari diri sendiri tapi juga dukungan partai,” jelasnya.
Melihat fenomena kuatnya dinasti politik di ranah legislatif, Arga menilai kondisi semacam ini akan terus berlanjut dan menyebabkan eksklusivitas dalam lingkup politik. Meski sebenarnya dinasti politik juga pernah terjadi di negara-negara besar seperti Amerika. Namun hal itu terjadi karena ada peran demokratis yang bermain. Sedangkan di Indonesia, dinasti politik justru melemahkan demokrasi dan berpotensi meningkatkan kolusi dan nepotisme. Sejalan dengan itu, Arga juga memaparkan bagaimana fenomena dinasti politik dapat menurunkan tingkat representatif di parlemen. “Dampaknya terkait demokrasi, kita bisa melihat dari beberapa faktor. Bagaimanapun ini merupakan hasil kompromi yang tentu saja representatifnya berkurang, karena mereka memiliki kontrak politik lebih kuat dengan partai politik yang bersangkutan,” tutur Arga.
Selain itu, Arga juga menyoroti dari sisi aspek konstitusi, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum tidak mengatur secara jelas larangan anggota legislatif yang memiliki kerabat atau keluarga sesama pejabat. “Memang pengaturan dalam konteks Pilkada pernah dilakukan pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, tapi turbulensi politik saat itu menghanyutkan keinginan untuk mempertahankan regulasi tersebut,” imbuhnya.
Arga menilai kampus sebagai institusi pendidikan diharapkan mampu memposisikan diri dalam upaya mengembalikan marwah demokrasi nasional. Melalui tulisan-tulisan dan diskusi akademik, hingga kajian praktisi perlu dilakukan. “Maka ide-ide dari universitas itu dapat menjaga marwah agar demokrasi kita lebih baik. Disamping ikut berkontribusi besar pada kesadaran publik,” tutupnya.
Penulis : Tasya
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Antara