
Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau, diindikasikan sebagai hal yang disengaja. Memasuki puncak musim kemarau dan tingkat kekeringan yang tinggi, hal tersebut menjadi faktor kerentanan terjadinya kebakaran dan berpeluang meluas. Kebakaran tersebut terjadi selama 10 hari. Disinyalir penyebab penyebab utama terjadinya kebakaran hutan dan lahan akibat ulah oknum. BMKG Stasiun Pekanbaru menyebutkan terdeteksi 186 titik panas di berbagai wilayah Riau berdasarkan hasil pantauan satelit Terra Aqua.
Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Prof. Priyono Suryanto, S.Hut., M.P., Ph.D., mencermati umumnya kebakaran hutan yang terjadi adalah sebuah modus persiapan lahan untuk perkebunan sawit sehingga terdapat indikasi kejahatan asap yang melibatkan jejaring aktor yang luas dan kompleks. “Apalagi interkoneksi antara pembukaan lahan dengan peningkatan risiko kebakaran hutan dan lahan,” ujarnya, Kamis (14/8).
Dikatakan Priyono, bangsa Indonesia sebenarnya memiliki rujukan leluhur terkait budaya api, khususnya melalui sistem perladangan berputar (SPB). Pada tahap awal, SPB adalah dengan tebas dan bakar yang mana api itu sendiri bersifat sakral dan untuk membangun peradaban yang mereproduksi ekosistem hutan. Pada fase akhir SPB, terbangun kembali ekosistem hutan bentuk perhutanan agroforestri yang serupa dengan hutan alam.
Namun seiring perkembangan zaman menjadikan api menjadi kurang bernilai atau mengalami distorsi. “Mandatnya api sekadar membakar untuk pembukaan lahan yang mudah, murah, masif, menguntungkan, dan menyamarkan. Jejak pembakaran cepat hilang, sulit dibuktikan, dan biasanya hanya pada pelaku di titik api berada, buka jejaring aktor,” ujar Priyono.
Menurut Priyono, konsep mitigasi kebakaran hutan dan lahan selama ini sudah berjalan dengan baik, hanya jalannya yang berbeda. Priyono memiliki pandangan bahwa pendekatan hukum di Indonesia sangat bagus, tetapi juga memberikan ruang inovasi modus di lapangan. “Akar permasalahan, solusi, serta mitigasi dari kebakaran hutan atau bencana asap selalu ditemukan sehingga hal fenomena tersebut yang terus-menerus membersamai,” katanya.
Priyono menilai sudah bangsa Indonesia menengok sejarah dan nilai-nilai budaya nusantara sehingga dapat menemukan lagi makna atau nilai kesakralan api sebagai budaya luhur nusantara yang menjadi bagian penting dari reproduksi ekosistem hutan. “Kalau melihat kembali api sebagai kebudayaan nusantara, maka api itu menjadi spirit, api itu menjadi jalan khas terang, api itu menjadi solusi, api menjadi mitigasi khas nusantara,” tegas Ketua Umum Masyarakat Agroforestri Indonesia (MAFI) itu.
Menuju usia perayaan kemerdekaan RI ke-80, kata Priyono, sudah waktunya Bangsa Indonesia melakukan refleksi kebangsaan dengan merawat warisan leluhur nusantara dan membuka kembali kitab penting indigenous prescribed burning sebagai literasi kuat mitigasi kebakaran hutan sekaligus tumpuan dalam mereproduksi ekosistem hutan. Tentunya hal tersebut diiringi pengkajian holistik dengan sinergi program pemerintah lain, seperti transmigrasi, perhutanan sosial, dan pengelolaan hutan adat yang dikoneksikan secara kuat dengan upaya kemandirian ekonomi. “Intinya, basis masyarakat digerakan sepenuhnya dengan nilai-nilai luhur dan bergotong royong. Sehingga masyarakat kuat dan kokoh pilar-pilar kehidupannya, biar tidak mudah digerakkan dengan iming-iming pendapatan yang instan dan merugikan jangka panjangnya,” simpulnya.
Penulis : Alena
Editor : Gusti Grehenson
Foto : AFP