Pemerintah berkomitmen meningkatkan hilirisasi di bidang perikanan. Rencananya, pemerintah akan merevitalisasi 78.123 hektare tambak di Pantai Utara Jawa untuk meningkatkan perputaran produksi perikanan. Sejumlah komoditas perikanan rencananya akan ditingkatkan produksi dan pengelolaannya agar mampu bersaing di pasar ekspor global.
Guru Besar Bidang Ilmu Perikanan dari Fakultas Pertanian UGM, Prof. Dr. Suadi, S.Pi., M.Agr.Sc., Ph.D., menilai langkah hilirisasi di bidang perikanan yang akan dilakukan oleh pemerintah perlu memperhatikan aspek bagian hulu, khususnya kegiatan perikanan tangkap dan akuakultur. Pasalnya, budidaya perikanan tangkap ini didominasi skala kecil, yaitu di bawah 10 GT (Gross Ton). Bahkan hampir 95% hanya kapal-kapal ukuran kecil yang menopang industri perikanan nasional. “Akibatnya wilayah penangkapan masih cenderung dekat dengan bibir pantai,” kata Suadi, Jumat (8/11).
Menurut Suadi, Indonesia merupakan produsen ikan terbesar kedua dunia, di mana peringkat satu diduduki oleh Cina. Sayangnya, posisi Indonesia sebagai eksportir komoditas perikanan justru sangat rendah dibanding negara lain. Suadi menjelaskan, ada berbagai faktor mengapa sektor produksi dan pasar perikanan tidak berjalan dengan baik. Salah satunya adalah kurangnya pengelolaan nilai tambah produk perikanan. Suadi mencontohkan hasil ikan laut tangkap yang memiliki nilai tambah tanpa pengolahan. “Ikan tuna segar misalnya. Menjaga agar ikan tetap segar seperti saat pertama kali ditangkap, bahkan ketika sudah dalam perjalanan jauh. Itu merupakan nilai tambah,” paparnya.
Pemerintah perlu memperhatikan rantai pasok dingin yang menjadi komponen utama dalam mengekspor ikan segar. Komoditas seperti udang, cakalang, tuna, kepiting, dan rumput laut ternyata banyak digemari negara lain. Tak tanggung-tanggung, negara seperti Amerika Serikat mengimpor ikan segar hingga 396,6 ton atau setara dengan US$4,05 juta. Kemudian produk seperti tuna, cakalang, dan gurita aktif diimpor Jepang dengan nilai 1,67 ribu ton atau sekitar US$10,88 juta. Melimpahnya komoditas hasil ikan segar Indonesia menyimpan potensi besar yang mampu mendobrak perekonomian.
Sedangkan untuk sektor tambak atau akuakultur, perlu meningkatkan nilai tambah melalui sentuhan teknologi. Faktanya, budidaya rumput laut merupakan budidaya terbesar di Indonesia. Namun upaya untuk memberikan nilai tambah pada produk rumput laut masih sepertiga dari total produksi. “Belum lagi petani lokal harus bersaing dengan perusahaan-perusahaan raksasa yang juga memasok rumput laut dari dalam negeri,” paparnya.
Upaya hilirisasi perikanan dapat dilakukan mulai dari proses awal produksi sampai ke tingkat pasar. Sebab, kepentingan produsen dalam negeri seperti nelayan juga perlu dilindungi agar tidak menimbulkan jurang ketimpangan dan masalah sosial baru di industri perikanan.
Yang tidak kalah penting, imbuhnya, isu eksploitasi laut semakin marak muncul akibat penangkapan berlebihan. Sejak 2017, pertumbuhan ikan tangkap laut lepas tidak sampai 6%. Padahal penangkapan ikan terus dilakukan dalam skala mikro maupun makro. “Ketidakseimbangan antara ketersediaan ikan dan permintaan pasar menyebabkan produksi ikan melambat. Karenanya, aspek keberlanjutan perlu diperhatikan pemerintah dalam mengelola hilirisasi,” katanya.
Selain itu, membuka investasi untuk hilirisasi tetap dibutuhkan, namun harus ada perlindungan bagi nelayan agar tidak terjadi ketimpangan yang menekan kesejahteraan nelayan. Pasalnya, saat ini 20-30% produksi nelayan tidak dapat diserap baik oleh pasar. Kondisi ini menyebabkan pendapatan nelayan sangat rendah. “Jika kebijakan hilirisasi ini dilakukan dengan memperbaiki rantai dingin (distribusi ikan) agar hasil tangkap nelayan dapat dipasarkan dengan baik, maka itu bagus. Tapi jika justru menimbulkan persaingan antara skala makro dan mikro, ini akan menjadi masalah,” jelas Suadi.
Penulis : Tasya
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Canva dan Freepik