Indonesia masih menghadapi permasalahan utama dalam upaya dekarbonisasi. Berbagai upaya masih belum dapat berjalan dengan maksimal dikarenakan beberapa faktor seperti ketergantungan pada bahan bakar fosil, pertumbuhan kendaraan bermotor, kurangnya infrastruktur transportasi umum, keterbatasan energi terbarukan, regulasi dan kebijakan, efisiensi Energi, dan dampak ekonomi.
Kepala Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral UGM), Ir. Ikaputra, M.Eng., Ph.D menyebut terdapat banyak tantangan dalam upaya dekarbonisasi, namun tetap perlu dicarikan solusi dalam menghadapinya. Berbagai tantangan tersebut seperti biaya awal yang tinggi, infrastruktur yang kurang memadai, kualitas bahan bakar, dan juga kesadaran masyarakat.
Menurutnya transportasi hijau, dekarbonisasi dan pembangunan berkelanjutan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat, sektor swasta, dan lembaga pendidikan. “Dengan kerjasama yang baik maka akan dapat mencapai transportasi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan di Indonesia,” kata Ikaputra dalam rilis yang dikirim ke wartawan, Senin (⅝) terkait dari hasil webinar yang diselenggarakan oleh Pustral yang bertajuk Transportasi Hijau, Dekarbonisasi Dan Pembangunan Berkelanjutan: Kenyataan, Harapan dan Tantangan.
Ikaputra menilai sektor transportasi menjadi penyebab utama polusi udara dan gas rumah kaca di Indonesia dan juga terjadi pada banyak negara. Sektor transportasi menghasilkan sekitar 25 persen emisi gas rumah kaca. Khususnya untuk transportasi darat, seperti kendaraan bermotor, menyumbang 90 persen dari emisi tersebut.
Sementara dari target zero emission di tahun 2050 berdasarkan Perjanjian Paris, bagi Ikaputra, nampaknya Indonesia akan sangat sulit dicapai tanpa melalui upaya dekarbonisasi, dan salah satunya pada sektor transportasi yang menyumbang cukup banyak emisi di Indonesia. “Sekali lagi kontribusi seluruh stakeholders baik pemerintah, industri, maupun masyarakat sangat dibutuhkan agar tercipta upaya yang komprehensif dalam mencapai terwujudnya zero emission”, terangnya.
Sementara Pandu Yunianto, ATD., M.Eng. Sc., Kepala Pusat Pengelolaan Transportasi Berkelanjutan (PPTB) Kementerian Perhubungan menyatakan pendapat senada. Dia menyampaikan penggunaan gas dan listrik di sektor transportasi kurang dari 1 persen, sedangkan sebagian besar lainnya masih menggunakan bahan bakar fosil. “Sekitar 91 persen emisi gas rumah kaca ini berasal dari sektor transportasi darat membuat Indonesia sebagai negara dengan polusi tertinggi di kawasan Asia Tenggara,” ujarnya.
Meski kebijakan yang sudah dijalankan untuk mendukung dekarbonisasi sektor transportasi sudah dilakukan, imbuhnya, masih terdapat sejumlah tantangan dan hambatan. Tantangan tersebut diantaranya terkait dengan penggunaan energi alternatif seperti gas dan listrik yang masih membutuhkan dukungan dari banyak stakeholders seperti belum adanya roadmap pengembangan teknologi mobil listrik untuk menggantikan mobil berbahan bakar fosil.
Ia berpendapat diperlukan peningkatan jumlah SPLU untuk mendorong Renewable Portfolio Standards (RPS) yang merupakan konsep kebijakan yang mendorong pemanfaatan energi terbarukan dengan mewajibkan produsen listrik fosil untuk memproduksi listrik dari sumber energi terbarukan dalam jumlah tertentu. Juga terkait dengan Infrastruktur pasokan gas yang masih terbatas pada moda kendaraan bermotor, kereta api dan kapal, dan perlunya mendorong pemanfaatan pipa untuk distribusi pasokan gas yang lebih murah, aman, dan ramah lingkungan.
Wakil Kepala Dinas Perhubungan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Syaripudin menyampaikan Dinas Perhubungan Daerah Khusus Ibukota Jakarta telah melakukan inisiatif prioritas penanganan transportasi Jakarta yaitu menata ulang prioritas pengguna jalan yaitu bahwa Pejalan kaki dan pesepeda mengurangi kebisingan, dan polusi udara sesuai sebagai pondasi dalam Rencana Induk Transportasi Jakarta. Beberapa program juga sudah dijalankan terkait dengan prioritas di atas antara lain dengan peningkatan prasarana transportasi park and ride, peningkatan kawasan low emission zone (LEZ), push strategy dengan insentif dan disinsentif tarif parkir, integrasi pembayaran park and ride dengan angkutan umum massal, dan strategi kebijakan pembatasan pergerakan seperti penerapan sistem ganjil genap dan sebagainya.
Sementara itu, Sahli selaku Executive Vice President of Corporate Strategic Planning, Monitoring, and Sustainability PT Kereta Api (KAI) Persero mengungkapkan bahwa jumlah penumpang yang diangkut oleh kereta api bisa menurunkan emisi. Sebab untuk mengangkut 1.120 orang dibutuhkan 160 mobil pribadi, sementara dengan kereta api untuk mengangkut orang yang sama hanya dibutuhkan 1 rangkaian dengan 8 – 14 gerbong.
Menurutnya, emisi yang dihasilkan kereta api pada jumlah penumpang tersebut hanya sebesar 45.920 gr CO2/km, jauh lebih kecil dibandingkan apabila menggunakan kendaraan pribadi sekitar 115.360 gr CO2/km.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Freepik.com