Melimpahnya sumber daya alam Indonesia nyatanya menimbulkan polemik terkait distribusi dan pemanfaatannya. Pemerintah memiliki peran besar untuk menentukan pengelolaan sumber daya alam dan prioritas pembangunan seperti apa yang ingin diraih. Ironinya, hasil ekstraksi dan pemanfaatan SDA dinilai belum bisa mensejahterakan rakyat sepenuhnya.
Melalui diskusi buku pada Rabu (14/9), Social Research Center Fisipol UGM dan Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM mengangkat isu politik dan lingkungan dalam buku berjudul “Analisis Kebijakan Tata Kelola Sumber Daya Alam” karya Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor, Prof. Hariadi Kartodiharjo. Diskusi ini membongkar berbagai sudut pandang dalam penerapan kebijakan sumber daya alam di Indonesia.
“Pada dasarnya, kita memiliki sumber daya hayati dan non hayati. Indonesia ini memiliki keduanya dalam jumlah melimpah. Kita terbiasa dengan jumlah tersebut, dan tanpa sadar kalau jumlah tersebut bisa habis. Nah, di samping itu juga kita banyak menggunakan sumber daya alam non hayati. Inilah yang penggunaannya banyak menimbulkan kerusakan pada sumber daya lainnya,” ucap Ismid Hadad, Ketua Dewan Pembina Yayasan KEHATI yang memberikan pengantar dalam buku tersebut. Ia menyebutkan, tujuan pembangunan yang dicanangkan pemerintah masih mengutamakan pertumbuhan ekonomi saja. Berbagai kebijakan terkesan terburu-buru dan masih belum matang, hingga menyebabkan tidak adanya aspek keberlanjutan.
“Pemerintah kita ini lebih suka melakukan kebijakan ekonomi ekstraktif, ya. Jadi, mengutamakan sumber daya tambang dan migas, dibanding merawat sumber daya alam hayati untuk masa depan. Karena dinilai lebih menguntungkan, tapi juga lebih cepat membuat bumi kita rusak. Padahal, yang paling penting itu adalah sumber daya alam hayati, dan yang lebih penting lagi adalah bagaimana keanekaragaman hayati ini terus berlangsung,” tambah Ismid. Buku yang turut disponsori oleh Yayasan KEHATI tersebut mengupas tuntas berbagai sudut pandang implementasi pengelolaan sumber daya alam Indonesia. Terlebih pemanfaatan SDA ekstraktif yang mengundang banyak modal asing untuk masuk, juga menambah potensi kerusakan alam yang tidak bertanggung jawab.
Peneliti Institute for Research of Empowerment, Dinda Ahlul Latifah, turut memberikan pandangannya sebagai generasi muda. “Saya waktu survei ke desa-desa sebagai peneliti itu kemudian menyadari banyak ketimpangan, khususnya akibat alih fungsi lahan. Jadi, ketika pemerintah atau swasta membeli tanah dari masyarakat dan menyebabkan tempat tinggal mereka harus direlokasi, apa yang mereka dapat itu tidak setimpal. Contohnya saja, sebelumnya di desa mereka memiliki rumah dengan pelataran dan kebun yang luas, namun ketika direlokasi, yang mereka dapatnya hanya rumah berukuran kecil yang tidak memiliki lahan. Lalu, bagaimana persoalan desa ini bisa teratasi,” ungkap Dinda.
Dinda menambahkan, pun dengan adanya kebijakan bantuan desa, ataupun pemberdayaan desa, masyarakat justru semakin tereksploitasi. Banyak program pengembangan desa pariwisata yang menghasilkan desa-desa dengan ciri khas tertentu sebagai objek pariwisata. Namun, hal ini justru menyebabkan pertumbuhan desa tidak tumbuh secara organik. Desa tidak difungsikan sebagaimana mestinya, melainkan dipaksa untuk mengikuti perkembangan zaman dengan menghilangkan berbagai karakteristik pedesaan.
“Kami sebagai kaum muda itu juga tertekan. Banyak lahan dikuasai oleh industri, tanah-tanah kami direlokasi. Kemudian banyak juga yang mendesak kaum muda untuk bisa membeli tanah. Bagaimana kemudian kita bisa mendapatkan tanah kalau semuanya didominasi industri. Belum lagi dengan banyaknya kasus pengalihan lahan yang hanya mengutamakan aspek ekonomi saja, tapi menghilangkan aspek budaya, spiritual, karakter asli dari adanya lahan tersebut,” papar Dinda.
Tak hanya itu, buku Prof. Hariadi juga menyoroti bagaimana kebijakan tersebut dapat bermuara pada kemakmuran rakyat. Eksploitasi sumber daya alam dan lahan di pedesaan pada kenyataannya belum mampu memakmurkan masyarakat. Padahal, lahan tersebut sudah dimiliki dan dirawat secara turun temurun, bahkan untuk kehidupan sehari-hari. Setidaknya, masyarakat harus memiliki hak untuk merumuskan kebijakan, melakukan pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan untuk mencapai keadilan dan kemakmuran atas lahan.
“Buku ini juga menjelaskan tentang cara pandang positivistik, ya. Mungkin sekarang sudah ada banyak program pembangunan desa. Tapi desa itu hanya dipandang sebatas bagian dari kolektifnya saja. Jadi, masalah setiap desa dianggap sama, maka obatnya sama. Kita melihat banyak perubahan yang dianggap sebagai pengembangan desa, seperti digitalisasi desa, desa pintar, dan lain-lain. Padahal, masalah mereka sebenarnya bukan itu, tapi hal itu bahkan dipandang cukup,” papar Dinda.
Penulis: Tasya