Dua dekade belakangan ini, program pengentasan kemiskinan dan perlindungan kesejahteraan sosial mengalami perubahan besar ditandai oleh peningkatan komitmen pemerintah pada kebijakan berbasis bukti. Hal ini beresiko dalam efektivitas program, dampak sosial, hingga ketepatan sasaran penggunaan anggaran negara. Namun begitu, ada kecenderungan kebijakan berbasis bukti ini mulai ditinggalkan. Sementara kebijakan pengentasan kemiskinan dan kesejahteraan Indonesia kini sedang menghadapi beberapa tantangan besar seperti tingginya tingkat informalitas tenaga kerja, tekanan fiskal, fragmentasi kelembagaan, serta perubahan demografi. Disamping, diperlukan adanya pembaruan data secara dinamis dan aktual.
Hal itu mengemuka dalam Seminar Mubyarto Public Policy Forum 2025, dengan mengusung tema “Poverty and Welfare Reform in Indonesia”, Jumat (24/10) di Learning Center Function Hall, Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM. Seminar agenda tahunan yang telah diadakan sejak 2017 untuk menghormati almarhum Prof. Dr. Mubyarto, ekonom terkemuka UGM dan tokoh berpengaruh dalam isu pembangunan pedesaan di Indonesia pada era 1960 – 1990-an ini, menghadirkan beberapa ekonom sebagai pembicara, diantaranya Ekonom UGM, Elan Satriawan M.Ec., Ph.D., Ekonom UI Putu Geniki Lavinia Natih S.E. M.Phil., D.Phil., Akademisi Australian National University (ANU) Indonesia Project Firman Witoelar Kartaadipoetra, Ph.D., selaku , Peneliti Senior SMERU Research Institute Dr. Sudarno Sumarto,
Elan Satriawan menyampaikan tantangan ekonomi Indonesia saat ini bukan lagi soal mengentaskan kemiskinan ekstrem, melainkan persoalan menurunnya kesejahteraan bagi kelompok rentan yaitu kelas menengah. Menurutnya, kebijakan sosial seharusnya tidak hanya berfokus pada penanggulangan kemiskinan, tapi juga perlu memperkuat perlindungan dan pemberdayaan ekonomi di masyarakat.
Elan menyoroti akses perlindungan sosial bagi kelompok menengah dan lansia yang masih banyak bekerja di sektor informal dan belum terlindungi oleh sistem sosial yang memadai. “Kebijakan di Indonesia harus lebih dari sekadar pengentasan kemiskinan. Perlu adanya sistem perlindungan sosial yang memberdayakan, inklusif, dan berkesinambungan dengan didukung oleh adanya kolaborasi, bukti ilmiah, serta konsistensi,” tuturnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan terdapat lima tantangan utama yang perlu diatasi agar sistem perlindungan sosial lebih inklusif yaitu kesalahan sasaran penerima bantuan, cakupan yang belum menyeluruh bagi disabilitas dan lansia, dampak program terhadap pembangunan manusia yang masih terbatas, lemahnya keterkaitan dengan program ketenagakerjaan, serta pendanaan yang belum berkelanjutan. “Kondisi kesejahteraan masyarakat saat ini dapat berubah dengan cepat, oleh sebab itu ia menilai perlu adanya pembaruan mekanisme data secara dinamis dan aktual,” ujarnya.
Putu Geniki Lavinia Natih memperkenalkan pendekatan Multidimensional Poverty Index (MPI) untuk memahami bahwa kemiskinan tidak hanya dilihat dari sisi ekonomi saja, tetapi juga dari dimensi manusia dan pengalaman hidup masyarakat. Meskipun angka kemiskinan moneter terus menurun, banyak masyarakat yang masih menghadapi keterbatasan pendidikan, kesehatan, dan layanan dasar.
Ia menekankan pentingnya perlindungan sosial yang berkelanjutan agar setiap warga mendapatkan jaminan dari masa anak-anak hingga usia lanjut. “Perlindungan sosial tidak boleh berhenti pada pengurangan kemiskinan, melainkan harus mendampingi masyarakat sepanjang tahapan kehidupan mereka,” ujarnya.
Putu juga menyoroti rendahnya partisipasi perempuan dalam angkatan kerja hingga minimnya data dan kebijakan inklusif bagi penyandang disabilitas. Ia menilai tanpa adanya data dan pemahaman mendalam, kebijakan sosial dapat kehilangan arah dan efektivitasnya. Menurutnya, integrasi antara kebijakan perlindungan sosial dengan agenda transisi energi hijau dan pengembangan keterampilan hijau (green job) agar kelompok rentan dan perempuan tidak tertinggal dalam transformasi ekonomi berkelanjutan. “Tujuan akhir pembangunan seharusnya bukan sekadar pertumbuhan ekonomi atau peningkatan pendapatan, tetapi terwujudnya kesetaraan dan keadilan sosial bagi semua,” imbuhnya.
Firman Witoelar Kartaadipoetra, mengatakan pada dua dekade terakhir program pengentasan kemiskinan dan kesejahteraan sosial di Indonesia mengalami perubahan besar dengan ditandai oleh peningkatan komitmen pada kebijakan berbasis bukti. Hal ini beresiko dalam efektivitas program, dampak sosial, hingga ketepatan sasaran penggunaan anggaran negara. Ia menekankan pentingnya riset dan kebijakan berbasis bukti dalam menanggapi isu kesejahteraan sosial di Indonesia. “Namun pada perkembangan terakhir menunjukkan berkurangnya ketergantungan pada bukti yang kuat dalam implementasi sejumlah program sosial besar, yang dapat menurunkan efektivitas dan menyebabkan salah alokasi sumber daya,” jelasnya.
Sementara Sudarno Sumarto menyoroti transformasi kebijakan dalam mengatasi masalah kemiskinan dan kesejahteraan sosial Indonesia selama dua dekade terakhir. Banyak perubahan besar diantaranya penurunan tingkat kemiskinan hingga perluasan cakupan program sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).
Sudarno menyatakan, adanya reformasi tersebut berkat andil antara pemerintah, lembaga riset, dan masyarakat sipil dalam mendorong kebijakan berbasis data. Kendati demikian, ia menilai sistem kesejahteraan Indonesia kini sedang menghadapi beberapa tantangan besar seperti tingginya tingkat informalitas tenaga kerja, tekanan fiskal, fragmentasi kelembagaan, serta perubahan demografi. “Saat ini kita sedang menghadapi sistem kesejahteraan yang terfragmentasi melalui banyak program, banyak kementerian, namun sering kali sasarannya tumpang tindih,” jelasnya.
Penulis : Cyntia Noviana
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Salwa
