Media sosial ditengarai berkontribusi terhadap menurunnya minat baca masyarakat di Indonesia. Media sosial bahkan dinilai menjadi sumber distraksi utama, menggantikan kegiatan membaca buku dengan konten-konten yang lebih singkat dan visual. Belum lagi penggunaan bahasa yang santai dan kurang baku. Ironis memang, di tengah penurunan minat baca buku, sebagian besar masyarakat Indonesia justru menghabiskan waktu sangat lama untuk menatap layar ponsel, dan mereka sering kali hanya untuk hiburan dan interaksi singkat di media sosial.
Guru Besar dan Pengamat Budaya Fakultas Ilmu Budaya UGM, Prof. Dr. Aprinus Salam, S.S., M.Hum menyatakan permasalahan menurunnya minat baca sesungguhnya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan keberadaan media sosial, namun lebih pada bagaimana cara generasi muda memanfaatkannya. Bagaimanapun media sosial memiliki potensi positif besar sepanjang dipergunakan secara tepat. “Pengaruhnya bisa baik, bisa kurang baik, tergantung bagaimana remaja memanfaatkannya. Minat baca masyarakat Indonesia memang rendah sejak dulu, dan itu bukan karena media sosial,” ujarnya di Kampus FIB UGM, Kamis (27/11).
Meski tidak sepenuhnya salah, upaya mengurangi penggunaan media sosial di kalangan remaja nampaknya perlu mendapat perhatian. Hanya saja, menurut Aprinus, pendekatannya tidak sesederhana dan semudah bisa dilakukan. Baginya, persoalan ini lebih berkaitan dengan strategi hidup, strategi sosial, dan strategi kebudayaan, dan perlu diperkuat dengan tradisi berpikir yang progresif dan prospektif baik pada generasi muda maupun generasi yang diatasnya (lebih dewasa). “Generasi yang lebih tua belum tentu juga cara berpikirnya lebih baik. Apalagi kalau tradisi berpikir yang kondusif tidak berhasil diwariskan, saya kira itu juga menunjukkan kegagalan generasi sebelumnya,” terangnya.
Bagi Aprinus, dengan tradisi berpikir yang matang, media sosial justru dapat menjadi ruang dialog yang sehat, tempat berbagi gagasan, serta medium untuk memperkaya ilmu pengetahuan dan seni. Bahwa membaca tidak selalu berarti membuka buku fisik karena membaca sesungguhnya kegiatan memahami makna, informasi, dan fenomena. “Apapun medianya, karena menurutku yang terpenting bukan sekadar meningkatkan minat baca, tetapi membentuk kesadaran tentang apa yang dibaca dan bagaimana cara membacanya. Banyak hal penting ada di media sosial, dan banyak hal tidak penting justru ada di buku sehingga jelas persoalannya bukan tentang minat, tetapi cara membaca,” ungkapnya.
Aprinus pun terkadang mengaku heran banyak orang tua tidak memiliki tradisi membaca yang kuat, namun menuntut anak-anaknya untuk rajin membaca. Hal itu tentu menjadi tantangan, dan orang tua perlu untuk memperbaiki soal kebiasaan membacanya terlebih dahulu baru bisa menjadi teladan. “Memang beberapa sekolah saat ini mengembangkan strategi dan kurikulum yang mendorong siswa membaca secara rutin, namun pendekatan ini saya kira tetap tidak bisa mengesampingkan peran media sosial sebagai ruang belajar yang potensial. Sekolah justru perlu mengajarkan cara bagaimana memanfaatkan media sosial secara progresif dan produktif,” paparnya.
Meski prihatin, kata Aprinus, pihak-pihak terkait mestinya tidak perlu mencemaskan karena setiap generasi memiliki tantangan dan cara penyelesaiannya sendiri-sendiri. Masing-masing generasi Alpha dan generasi setelahnya akan hidup dalam perkembangan teknologi yang jauh lebih kompleks, sementara pengalaman generasi sebelumnya dinilai tidak selalu relevan bagi masa depan mereka. Bahwa literasi remaja di masa depan tidak hanya diukur dari seberapa sering mereka membaca buku, tetapi dari kemampuan mereka memahami informasi, berpikir kritis, dan memanfaatkan teknologi untuk membangun peradaban yang lebih baik. “Saya kira tidak perlu terlalu berharap generasi yang lebih tua memberi pelajaran tentang masa depan. Masalah hidup mereka, dan apa yang akan dihadapi generasi mendatang jelas-jelas berbeda,” pungkasnya.
Penulis : Kezia Dwina Nathania
Editor : Agung Nugroho
Foto : Freepik.com
