Pentingnya isu kesehatan mental mulai banyak disadari oleh banyak kalangan. Data Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2018 menyebutkan, setidaknya 1 dari 16 orang berusia 15 ke atas terdiagnosa mengalami depresi. Jika kondisi ini terus menerus dibiarkan, maka dikhawatirkan akan menimbulkan masalah kesehatan mental yang jauh lebih berbahaya dalam skala besar. Sayangnya, kesadaran tersebut masih perlu didorong untuk memberi pemahaman bahwa setiap orang berhak mendapatkan penanganan psikologis.
“Dalam undang-undang kita yang baru, UU No. 17 Tahun 2023 itu sudah dimaknai bahwa kesehatan jiwa merupakan bagian dari kesehatan. Dan upaya untuk mencapai kesehatan jiwa yang optimal harus dilakukan secara promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Baik oleh Pemerintah, Pemda, maupun masyarakat. Kita akan menghadapi bonus demografi tahun 2035, dan 70% total penduduk itu merupakan penduduk bekerja. Tentunya, diharapkan masyarakat di sini adalah masyarakat yang produktif, di mana salah satu upaya untuk produktif adalah dengan menjaga kesehatan jiwa,” ucap Lucia, dari Kementerian Kesehatan RI dalam acara Launching Course bertajuk “Literasi Kesehatan Mental & Pertolongan Pertama Psikologis, dan Ketahanan Keluarga” pada Senin (10/10).
Ironisnya, kelainan mental menempati urutan tujuh ke atas pada anak-anak, remaja, dan usia produktif sebagai beban kesehatan. Bahkan, kasus bunuh diri dilaporkan sebanyak 826 kasus pada tahun 2022, di mana jumlah ini meningkat jika dibandingkan tahun sebelumnya.
“Prevelensi gangguan jiwa berat, dalam hal ini adalah skizofrenia mencapai 0,18% yaitu sekitar 495 ribu orang. Nah dari data tadi ya ada masalah lain, yaitu semakin tingginya kesenjangan pengobatan. WHO sendiri mengatakan pada negara-negara berpendapatan kecil menengah itu 75% penduduk tidak mendapat terapi. Di Indonesia itu, penderita skizofrenia sebanyak 51% itu tidak rutin berobat. Padahal kita ketahui, skizofrenia ini penyakit kronis yang pengobatannya jangka panjang,” tambah Lucia.
Saat ini, upaya yang dilakukan untuk mendukung kesadaran akan kesehatan mental, mulai diutamakan secara preventif dan promotif. Pasangan yang berniat memiliki keturunan sangat dianjurkan untuk terlebih dahulu melakukan konseling, baik untuk kesehatan mental sendiri, atau untuk memberi pemahaman pentingnya kesehatan mental pada anak. Tahap selanjutnya, pembinaan kesehatan mental tetap dilakukan secara intensif selama 1000 hari pertama kehidupan, yakni hingga balita. Melalui strategi ini, anak diharapkan tumbuh secara sehat jasmani dan rohani, sehingga meminimalisir timbulnya gangguan mental saat beranjak dewasa.
Menurut Ketua CPMH UGM, Diana Setyawati, M.HSc., kondisi gangguan mental akan sangat bergantung pada kerentanan masing-masing individu. “Kalau tekanan yang sama diberikan pada dua orang berbeda, mungkin satu akan mengalami depresi, namun satunya bisa jadi tidak. Ini bergantung pada seberapa rentan seseorang ketika mendapat tekanan. Kerentanan salah satunya dapat dibentuk oleh masa dalam kandungan atau prenatal, dan pengalaman hidup lima tahun pertama,” tuturnya. Hal ini mengindikasikan bahwa orang tua memiliki peran penting dalam memberikan pembinaan kesehatan mental sejak dini.
“Kita lihat di sini keluarga memiliki peran yang besar ya. Jadi berbagai penelitian itu menyebutkan, kunci keluarga yang tanggung jawab itu adalah keluarga yang memiliki komitmen, bisa menghabiskan waktu bersama, keluarga yang komunikasinya tidak hanya positif, tapi juga apresiatif. Anak-anak, anggota keluarga yang tumbuh dalam keluarga ini akan tumbuh dengan kesejahteraan spiritual yang baik,” tambah Diana.
Penulsi: Tasya