
Jangan terkecoh penampilan seseorang. Seorang yang tampak tenang dan baik-baik saja, namun siapa tahu ia sesungguhnya tengah berjuang keras menghadapai tekanan mental dan emosional. Di lingkungan kampus, seorang mahasiswa bisa terlihat begitu penuh semangat dengan capaian-capaian, namun siapa sangka yang tak terlihat ia sesungguhnya tengah mengalami duck syndrome. Fenomena duck syndrome diambil dari metafora seekor bebek yang mengapung anggun di permukaan air, namun di bawah permukaan air ia tengah mengayuh dengan panik agar tidak tenggelam. Fenomena ini semakin sering ditemukan di kalangan mahasiswa saat ini. Mahasiswa cenderung ingin tampil serba bisa, serba kuat, dan serba produktif. Tapi sayangnya, di balik semua itu, banyak yang merasa lelah dan kewalahan, namun tidak selalu mengetahui cara tepat untuk mengatasinya.
Anisa Yuliandri, S.Psi., M.Psi., Psikolog, dari Career and Student Development Unit (CSDU) FEB UGM mengatakan Duck syndrome pertama kali digunakan untuk menggambarkan mahasiswa Stanford University yang tampak tenang namun sebenarnya berada di bawah tekanan. Gambaran tersebut kini sering ditemukan di berbagai kampus, termasuk di Indonesia. Mahasiswa berusaha memenuhi ekspektasi tinggi dari diri sendiri maupun tuntutan lingkungan. Iapun berusaha mempertahankan IPK, aktif berorganisasi, magang, ikut lomba, hingga menjaga eksistensi di media sosial. “Banyak mahasiswa merasa harus ambil semua kesempatan karena takut tertinggal. Takut kalau tidak ikut ini-itu nanti dibilang malas, tidak kompetitif, tidak punya masa depan,” katanya, Senin (11/8).
Berdasar konsep Self-Determination Theory, kata Anisa, manusia memiliki tiga kebutuhan psikologis dasar, yaitu rasa kendali (autonomy), rasa mampu (competence), dan rasa terhubung (relatedness). Fenomena duck syndrome berkaitan erat dengan konsep ini, karena ketika pilihan hidup tidak lagi didasarkan pada keinginan pribadi melainkan pada tekanan eksternal, keseimbangan psikologis individu pun kemudian terganggu.
Di sisi lain, budaya untuk selalu terlihat “baik-baik saja” menjadikan mahasiswa menekan atau menyembunyikan emosi yang sesungguhnya mereka rasakan. Tidak sedikit mahasiswa berusaha untuk tidak boleh terlihat lelah atau menyerah karena takut dianggap lemah. Sikap perfeksionisme yang tinggi ini membuat seseorang cenderung menutupi kelemahan dan kesulitan. “Padahal kita ini manusia biasa, punya batas. Tapi karena ingin mempertahankan citra sempurna, akhirnya semua dipendam sendiri,” jelasnya.
Dalam pandangan Anisa keberadaan media sosial turut memberi andil dan memperkuat tekanan ini. Dicontohkannya ketika beranda media sosial seseorang dipenuhi dengan pencapaian orang lain seperti kemenangan lomba, pengalaman magang, kelulusan cepat, hingga liburan. Hal-hal semacam ini, kata dia bisa memicu orang lain muncul perasaan tertinggal. “Dalam usaha untuk tidak kalah bersinar, mahasiswa sering kali memaksakan diri untuk terlihat produktif. Ini sesuai dengan Impression Management Theory. Seseorang cenderung mengatur dan mengendalikan citra diri agar terlihat kuat dan mampu, meski di balik layar sesungguhnya ia sedang sangat lelah,” ujar Anisa.
Baginya fenomena duck syndrome bisa menjadi sangat berbahaya karena sifatnya yang tak kasat mata. Sesuatu yang tampak baik-baik saja, namun banyak yang tidak menyadari bahwa dirinya sedang mengalami distress psikologis. Kalimat-kalimat seperti semua orang juga capek atau kalimat memang harus begini kalau mau sukses, disebutnya menjadi pembenaran untuk terus memaksakan diri. Padahal kondisi tersebut jika terus dibiarkan akan bisa berkembang menjadi gangguan yang lebih serius, seperti kecemasan kronis, insomnia, burnout, bahkan depresi.
Konflik perasaan internal dan ekspresi eksternal ini menciptakan disonansi kognitif yang berat. Lama-kelamaan seseorang bisa merasa asing dengan dirinya sendiri, bingung membedakan antara sibuk dan bahagia. Gejala duck syndrome juga memengaruhi hubungan sosial, dan pada akhirnya mahasiswa mulai menarik diri, merasa tidak cukup baik, dan menghindari interaksi. “Ada perasaan takut dihakimi atau dianggap gagal, padahal sebetulnya yang dibutuhkan hanya ruang untuk didengar,” jelasnya.
Anisa berpendapat ada baiknya bagi mahasiswa untuk mulai mengenali gejala duck syndrome dan mengambil langkah kecil untuk mengatasinya. Langkah pertama adalah jujur pada diri sendiri, dan mengakui bahwa ia sedang lelah bukan kelemahan. “Sikap jujur ini merupakan bentuk keberanian. It’s okay to not be okay. Kita tidak harus selalu produktif atau terlihat bahagia. Menerima semua, dan mengizinkan diri merasa sedih adalah bagian dari pemulihan,” tuturnya.
Yang tak kalah penting juga, kata Anisa yaitu soal mengelola ekspektasi, baik dari diri sendiri maupun lingkungan. Mahasiswa perlu menyadari bahwa tidak semua standar harus diikuti, dan tidak semua peran harus diambil. Menolak suatu tanggung jawab demi menjaga kesehatan mental adalah hal yang sah. “Belajar mengatakan tidak tanpa rasa bersalah adalah keterampilan penting,” tambah Anisa.
Anisa sangat berharap keterbukaan dan pentingnya keberanian mahasiswa untuk bercerita. Sebab, bercerita kepada satu orang saja, bisa sangat melegakan. Olah karena itu, FEB UGM melalui CSDU menyediakan layanan konseling gratis yang dapat diakses oleh semua mahasiswa. Mahasiswa juga bisa memanfaatkan Program Peer Support yang dimiliki FEB UGM, program teman sebaya yang telah dilatih untuk menjadi pendengar yang aman dan suportif. “Tidak perlu lagi kita berpura-pura kuat. Jika hari ini yang bisa kita perbuat atau lakukan hanyalah bertahan maka itu sudah cukup. Bertahan adalah bentuk keberanian,” tutup Anisa.
Reportase : Kurnia Ekaptiningrum/Humas FEB
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Suara.com