Kekerasan seksual menjadi salah satu persoalan penting di perguruan tinggi yang menuntut perhatian besar untuk segera ditangani. Pasalnya terdapat 21 bentuk kekerasan seksual yang ada di dalam kampus yang meliputi tindakan verbal, fisik, non-fisik serta ujaran-ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh dan sebagainya. Sehingga diperlukan satgas khusus untuk memberikan pelatihan dan sosialisasi pencegahan kekerasan berbasis gender online dan penyebaran konten intim non-konsensual di kalangan warga kampus. Hal itu mengemuka dalam Pelatihan Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender Online dan Penyebaran Konten Intim Non-Konsensual, di ruang Multimedia 1 Gedung Pusat, Senin (18/11).
Pelatihan yang diselenggarakan oleh Satgas Pencegahan dan Penanganan Universitas Gadjah Mada (Satgas PPKS) bekerja sama dengan Biro Pelayanan Kesehatan Terpadu (BPKT) dan Direktorat Kemahasiswaan Universitas Gadjah Mada (Ditmawa), ini menghadirkan pembicara diantaranya Ketua Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas Gadjah Mada, Prof. Dra. Raden Ajeng Yayi Suryo Prabandari, M.Si., Ph.D., Dosen dan peneliti Kajian Budaya dan MEdia, Sekolah Pascasarjana UGM, Dr. Ratna Noviani, M.Si, dan Kepala Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, Kedaruratan dan Lingkungan (K5L) UGM, Arif Nurcahyo, S.Psi., M.A.
Yayi Suryo mengatakan, UGM sudah mengeluarkan Peraturan Rektor Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual oleh Lingkungan Masyarakat Universitas Gadjah Mada. Melalui peraturan ini, Yayi berharap untuk berbagai kasus yang terjadi di lingkungan kampus, para korban untuk tidak segan-segan melaporkan atau menyampaikan penangananya ke satuan tugas yang ada di tingkat Universitas maupun Fakultas. “Ini penting agar penanganan kekerasan seksual di UGM segera mendapatkan penanganan dan pencegahan, dan setelah itu diharapkan mendapatkan pemeriksaan kasus oleh Komite Pemeriksa,” terangnya.
Ia menyebutkan, beberapa bentuk kekerasan seksual meliputi setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, menimbulkan perasaan tidak nyaman, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau gender. Perbuatan yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dengan aman dan optimal.
Tidak hanya itu, imbuhnya, bentuk kekerasan seksual ini mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, non fisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi, seperti Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) dan Penyebaran Konten Intim Non-Konsensual (NCII).“Ada 21 bentuk kekerasan seksual di dalam kampus yang meliputi tindakan verbal, fisik, non-fisik dan teknologi informasi dan komunikasi. Seperti ujaran-ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh dan lain-lain”, katanya.
Ratna Noviani mengungkapkan kasus KBGO mengatakan mudahnya penggunaan teknologi digital, khususnya internet, berbagai platform digital siapa saja berpotensi menjadi pelaku maupun korban. “Praktek KBGO saat ini berkelindan dengan teknologi media digital, karena itu banyak semua pihak termasuk pemerintah mengajak untuk memanfaatkan teknologi digital dengan lebih bertanggungjawab”, urainya.
Arif Nurcahyo menuturkan, upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual membutuhkan keterlibatan peran seluruh komponen terutama dalam menghadapi situasi kedaruratan di lingkungan kampus. “Diperlukan distribusi informasi teknis, sosialisasi, dan pelatihan dasar bersama secara berkala ke unit-unit, sehingga muncul kesadaran terhadap keamanan dan keselamatan sebagai tanggung jawab bersama,” paparnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Donnie