Selama rentang bulan Agustus hingga November 2025, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setidaknya sudah menangkap tiga kepala daerah yang terdiri para Gubernur dan Bupati. Padahal para kepala daerah ini belum setahun menjabat karena baru saja dilantik pada Februari silam. Berdasarkan catatan KPK, sebanyak 51 persen dari kasus korupsi yang mereka ditangani berasal dari pejabat daerah. Sepanjang 2004-2024 ada sebanyak 167 kepala daerah di Indonesia yang terjerat kasus korupsi.
Guru Besar UGM Bidang Tata kelola Kebijakan Publik Prof. Gabriel Lele, mengatakan motif utama yang memungkinkan para pejabat melakukan tindak pidana korupsi mahalnya biaya politik ketika pencalonan dan kurangnya tindak adil negara dalam memperlakukan ‘kesejahteraan’ kepala daerah untuk mengembalikan dana yang telah mereka gunakan dalam pencalonan. “Sebagian kepala daerah pembiayaannya bukan ditanggung partai tetapi mayoritas harus mencari sendiri,” ucapnya, Senin (8/12).
Menurut Gabriel, pemerintah sebenarnya telah melakukan beberapa upaya untuk menurunkan tindak korupsi. Pertama dengan mengubah sistem kepartaian dari partai massa menuju ke partai kader. Partai kader umumnya memiliki ideologi yang jelas serta anggota yang tetap. Kedua, pembiayaan politik untuk persiapan kampanye ditanggung oleh negara dengan risiko yang besar bahwa dana tersebut akan digunakan sebaik-baiknya.
Selain dari pemerintah, bagi Gabriel menekankan bahwa idealnya masyarakat yang memutuskan memilih seseorang atau sebuah partai karena pertimbangan programatik calon pemimpin bukan karena hal lain karena politik uang. “Kalau publiknya mau berani menolak serangan fajar misalnya, bantuan-bantuan tidak jelas dengan motif politik, saya kira partai politik juga akan memikirkan kembali hal tersebut,” katanya.
Bagi Gabriel, untuk menekan korupsi para kepala daerah ini kuncinya pada kesadaran politik atau pendidikan politik masyarakat. Selama mayoritas masyarakat masih terhimpit dengan kemiskinan, tingkat pendidikan rendah, tidak akan ada perubahan. Dengan meningkatkan kesadaran politik maka masyarakat semakin sadar bahwa suara mereka itu penting dan tidak bisa diperjual belikan. “Yang berhak mendapatkan suara mereka adalah calon pemimpin yang memiliki program yang jelas,” ujarnya.
Sementara dari sisi pengawasan tindak kecurangan pemilu, Gabriel mengaku belum memiliki kepercayaan yang tinggi dalam penguatan pengawasan kecuali bentuk kecurangan itu langsung ditindak pidana dan dikategorikan sebagai pidana pemilu. Pasalnya, sistem penegakan hukum di Indonesia masih sangat lemah sehingga pencegahan akan lebih efektif dibandingkan dengan pengawasan. “Saya tetap meletakkan harapan pokok itu pada rakyatnya bukan pada pemimpinnya,” tegasnya.
Penulis : Jesi
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik
