
Sebanyak 127 warga Desa Karangturi, Klaten, Jawa tengah menjadi korban keracunan makanan usai menyantap nasi kotak dalam hajatan wayangan pada hari sabtu(12/4). Dari jumlah tersebut tercatat 47 di rawat di rumah sakit, 80 orang rawat jalan, dan seorang meninggal dunia karena diduga juga mengidap kormobid. Beberapa keluhan dirasakan para korban diantaranya seperti sakit perut, mual, muntah, dan diare hingga hari Minggu pagi (13/4). Atas kejadian ini pihak berwenang telah mengirim sampel sisa makanan ke laboratorium di Semarang.
Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG) UGM Prof. Dr. Ir. Sri Raharjo, M.Sc., mengatakan peristiwa keracunan makanan sudah seringkali dialami warga masyarakat akibat mengkonsumsi makanan dalam berbagai acara hajatan. Menurutnya, jumlah kasus keracunan makanan seperti ini setiap tahun sesungguhnya banyak terjadi. Hanya saja ada pihak yang melaporkan dan tidak dilaporkan. “Sebagian ada yang dipublikasikan oleh media dan ada yang tidak. Sayangnya kasus keracunan semacam ini jarang sekali yang dilanjutkan pemberitaannya hingga hasil uji laboratorium terkait jenis bakteri atau toksinnya yang mungkin menjadi penyebab. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu kendala mengapa upaya untuk meminimalkan terulangnya kasus keracunan makanan tidak efektif”, ujarnya di Kampus UGM, Kamis (17/4).
Dosen Departemen Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian UGM ini mengatakan kasus keracunan makanan di Klaten, menurutnya, terjadi karena disebabkan oleh beberapa faktor secara bersamaan. Pertama terkait dengan kondisi mutu dan keamanan bahan pangan segar yang diolah. Kedua terkait dengan cara mengolah diantaranya kondisi para masak, peralatan dan cara pemakaiannya, kondisi lingkungan, serta waktu pengolahan dan konsumsinya.
Dari sajian makan menurut pemberitaan berupa nasi, rendang daging sapi, krecek, acar, kerupuk dan snack. Jika dilihat potensi bahaya makanan, menurut Sri Raharjo, rendang daging sapi dan krecek berisiko lebih tinggi dibanding sajian acar, kerupuk dan snack. Dipertanyakan, apakah kondisi daging sapi segar yang diolah terjaga kebersihannya, dingin atau beku. Jika tidak, disebutnya dimungkinkan berpotensi memiliki tingkat cemaran bakteri atau toksin cukup tinggi di atas batas normalnya yang dianggap aman.
Sri Raharjo menggambarkan jika untuk hajatan tersebut dibuat 200-300 box, dan tiap kotak berisi sekitar 50 gram daging maka membutuhkan 10-15 kg daging segar. Daging sebanyak itu dimasak beserta bumbunya mungkin menggunakan peralatan masak ukuran rumah tangga, dan biasanya tidak rampung dalam sekali masak.
Kemungkinannya, kata dia, dimasak 3-5 kali. Hal ini berarti masakan yang pertama dilakukan awal pagi (misal jam 07.00) di hari yang sama atau mungkin dimasak sehari sebelumnya. Kondisi ini tentu berisiko karena ada jeda waktu lebih dari 10 jam hingga dikonsumsi. “Kalaupun tersedia alat masak yang besar dan dapat dipergunakan untuk memasak 10-15 kg daging sekali masak maka inipun berisiko panas tidak merata untuk mematangkan beberapa potong daging sehingga tidak cukup untuk mematikan bakteri atau melemahkan toksin yang mungkin sudah mencemari daging dengan level yang cukup tinggi akibat kondisi daging segar yang kurang terjaga”, terangnya.
Sri Raharjo pun membayangkan setelah selesai masak daging dan krecek yang kemudian dimasukkan ke dalam nasi kotak maka sajian tentunya baru dikonsumsi oleh warga pada malam hari sekitar jam 19.00-20.00. Jika memang begitu, ada interval waktu 12 jam hingga makanan dikonsumsi warga. “Tentu dimakan di malam hari karena hajatan wayangan. Jika proses memasak dalam jumlah besar, dimungkinkan panasnya tidak tuntas mematangkan masakan, dan berisiko masih menyisakan sedikit bakteri atau toksin penyebab sakit”, paparnya.
Sekali lagi, menurut Sri Raharjo, dengan jeda waktu 12 jam cukup waktu bagi bakteri berkembang biak lagi hingga mencapai jumlah yang membahayakan konsumen. Mereka yang mengonsumsi rendang daging atau krecek boleh jadi tidak mengalami sakit perut, muntah, ataupun diare karena kondisi kesehatannya baik, sedangkan warga yang menjadi korban keracunan bisa jadi ketika mengonsumsi kondisi kesehatannya kurang baik alias daya tahan tubuhnya melemah.
Bagi Sri raharjo, tidak menutup kemungkinan peristiwa semacam ini akan menimpa kembali masyarakat di waktu yang akan datang di tempat yang berbeda. Agar aman mengonsumsi makanan di acara hajatan yang disiapkan secara gotong royong oleh warga, ia menyarankan diperlukan pemahaman yang benar terkait cara mengolah makanan dalam jumlah besar. Selain itu, perlu diperhatikan peralatan pengolahan dan cara pemakaiannya secara tepat, serta kewaspadaan jika masakan yang sudah siap saji baru dikonsumsi lebih dari 10 jam. “Hal-hal semacam ini penting untuk diperhatikan, dan dilakukan. Para warga pun diharapkan untuk selalu menjaga kondisi kesehatannya. Secara bersama kita terus upayakan meminimalkan risiko kemungkinan terjadinya keracunan makanan”, pungkasnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Nusantarapedia.net