
Pemerintah diminta untuk menyampaikan informasi yang baik kepada publik baik terkait program bahkan soal empati pada setiap persoalan yang dihadapi oleh warga masyarakat. Komunikasi politik pemerintah idealnya menenangkan publik, bukan menambah kegaduhan. Oleh karena itu, komunikasi yang baik seharusnya lebih mengedepankan diplomasi publik dengan strategi dapat merangkul berbagai pihak.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, Nyarwi Ahmad, Ph.D, menilai pola komunikasi politik yang dibangun oleh Staf Komunikasi Kepresidenan terlalu defensif dan argumentatif dapat berdampak buruk terhadap kepercayaan publik. Ia menilai pendekatan yang dilakukan Hasan Nasbi selaku kepala Komunikasi Kepresiden saat mengomentari pengiriman kepala babi dan bangkai tikus ke kantor redaksi Tempo masih mirip dengan gaya komunikasi kampanye, padahal komunikasi di lingkungan kepresidenan seharusnya lebih mengedepankan diplomasi publik dan strategi yang dapat merangkul berbagai pihak. “Kalau komunikasi pemerintah terus-menerus bersifat defensif, bahkan sampai menyalahkan dan mengecilkan pihak lain, itu bisa memunculkan sentimen negatif terhadap pemerintahan Prabowo. Ini bisa menjadi bumerang bagi dukungan publik,” tegasnya, Rabu (9/4).
Sebagai solusi, ia menyarankan agar strategi komunikasi pemerintah lebih responsif, tematik, dan empatik. Ia juga menekankan pentingnya menghindari komunikasi yang berpotensi menimbulkan kontroversi dan mendorong adanya strategi komunikasi yang lebih mengakar. “Bukan hanya sekadar menyampaikan pesan, tetapi juga mempertimbangkan dampaknya terhadap publik,” terangnya.
Nyarwi mengingatkan jika pola komunikasi seperti ini tidak diperbaiki, kejadian serupa dapat terulang dan semakin merugikan citra pemerintah. Apalagi Presiden Prabowo terkait janjinya saat diundang ke Dewan Pers semasa menjadi calon presiden yang menyatakan akan menjaga kebebasan pers sebagai pilar keempat demokrasi. Bahkan, dalam beberapa pernyataan, Prabowo menyebut pers sebagai mitra kritis yang diperlukan dalam mengawal pemerintahan. “Komunikasi politik pemerintahan saat ini seharusnya selaras dengan prinsip yang pernah disampaikan oleh Prabowo, bukan justru menciptakan kesan yang bertolak belakang,” tandasnya.
Menurutnya, pemerintah seharusnya lebih menekankan posisi sebagai pelindung kebebasan pers daripada sekadar merespons dengan guyonan yang bisa memicu perdebatan publik. Bahkan Nyarwi juga menyoroti bahwa komunikasi politik pemerintah idealnya menenangkan publik, bukan menambah kegaduhan. “Publik membutuhkan pernyataan yang memberi ketenangan, bukan mendorong kontroversi,” paparnya.
Sepanjang pengamatan Nyarwi, belum ada standar komunikasi yang jelas dan terstruktur di kantor komunikasi tersebut sehingga yang lebih menonjol justru gaya komunikasi individu, bukan pendekatan kelembagaan yang solid.”Kita belum melihat gaya komunikasi yang khas dari Kantor Komunikasi Kepresidenan. Yang tampak justru gaya perorangan pejabatnya. Seharusnya komunikasi mereka lebih elegan dan terintegrasi dengan strategi komunikasi pemerintahan Prabowo,” pungkasnya.
Penulis : Bolivia Rahmawati
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik